”Situasi dunia pendidikan semakin tidak menarik bagi kalangan orang-orang tidak berada.” Seperti itulah teriakan kaum pinggiran/ miskin yang semakin terhimpit kebijakan pemerintah yang tidak banyak mendukung kaum lemah. Memang pada kenyataannya banyak yang akhirnya menjadi korban kekuasaan/hegemoni pemerintah.Tidak asing lagi rupa-rupanya eksekutif merancang serta mengesahkan peraturan yang akhirnya menjadi salah di sistemnya.Maka dari itulah GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil) mencoba menjembatani masyarakat sipil melalui diskusi media pendidikan ”Penerimaan Siswa Baru yang Bebas Pungutan.” Diadakan pada hari Kamis, 21 Juni 2007 pukul 14.00 wib di ruang rapat GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil) Jl.Pahlawan no.72 Kutosari Kebumen.
Dengan mengundang orang-orang yang berkompeten di dalamnya, seperti lembaga swadaya masyarakat berbasis pendidikan seperti DPK, PGRI, LSM Kihajar Dewantara, FORMASI, dan lembaga-lembaga lain yang tergabung dalam GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil); LSM Tanah Air, Sekolah Rakyat Melu Bae, KPI, LKD, dan sebagainya. Serta kalangan mahasiswa dari beberapa pengurus BEM universitas dan organisasi gerakan mahasiswa; PMII, dan GMNI di Kebumen yang banyak menyuarakan kepentingan masyarakat sipil khususnya kaum miskin.
Acara dibuka oleh Borni dari GAMPIL dengan bacaan basmalah dan sedikit prakata awal. Latar belakang tema tersebut sebagaimana disampaikan oleh Borni sebagai moderator pada awal diskusi bahwa gampil melihat ada korelasi yang berbanding lurus antara in put dan out put. Namun sistem sekarang masih belum berpihak pada in put. Menjelang tahun ajaran baru (2007-2008) sekarang ini misalnya, siswa akan kembali terbebani dengan tingginya biaya pendaftaran dan setelahnya. Ribuan siswa akan mengeluh kepada orang tuanya, karena sekolahnya meminta berbagai sumbangan seperti uang pengembangan, uang seragam, dana ekstrakurikuler. Akhirnya, karena sedari awal siswa sudah terbebani dengan hal-hal demikian, maka tidaklah mengherankan kalau selama mengikuti proses belajar mengajar siswa tidak bisa konsentrasi penuh. Bukti dari tesis tersebut yaitu satu kenyataan kemarin yang menempatkan kabupaten Kebumen sebagai daerah paling rendah untuk hasil nilai Ujian Nasional. Jebloknya hasil UN tersebut mungkin disebabkan oleh aspek penerimaan siswa baru disetiap awal tahun ajaran dan perlakuan sistem pendidikan yang masih belum maksimal dan cenderung menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan kebijakan.Selanjutnya acara diserahkan sepenuhnya kepada teman-teman GAMPIL dan teman-teman dari elemen lain untuk mendiskusikan tema yang sedang diangkat tersebut.
Eko Sudjarwo salah satu yang kala itu mewakili H. Dirgoyuswo dari Dewan Pendidikan Kebumen mengemukakan, ”bahwa kita harus memahami dan meneliti pasal 13 yang notabenenya kembali pada era 2 tahun silam, yaitu terjadinya pungutan-pungutan penerimaan siswa baru.Padahal pemerintah sendiri sudah mengalokasikan dana tersendiri atau DAS untuk SMA/ SMK/ MA swasta juga untuk sekolah-sekolah negeri seperti BOS dan DAK.” Memang sangat tidak mungkin ketika pemerintah membuat peraturan tersebut tanpa di iringi dengan strategi, baik buruknya serta untung dan ruginya.Apa yang sebenarnya ada di balik itu semua merupakan kebijakan sang pembuat peraturan tersebut.Personal lembagakah, atau yang berpihak pada civil society atau masyarakat sipil? Itu yang sebenarnya menarik untuk kita telusuri.
Dalam kesempatan itu pula Eko mengangkat beberapa point wacana diantaranya; pertama, penyelenggaraan PSB atau kepanjangan Penerimaan Siswa Baru telah ada landasan hukumnya yaitu Surat Keputusan Bersama antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan Departemen Agama. Menurutnya, klausul mengenai PSB dalam naskah MoU tersebut sudah memenuhi standar persyaratannya, dan MoU tersebut berlaku untuk sekolah negeri. Kedua, model penerimaan siswa baru yang diselenggarakan sekolah negeri memiliki tingkat kualifikasi yang lebih baik dibanding sekolah swasta. Sekolah negeri menerapkan sistem penerimaan siswa baru yang mampu menyeleksi siswa-siswa berprestasi dengan baik, sementara di sekolah swasta baginya mengesankan asal menerima saja, tidak lain karena hanya menerima siswa-siswa yang terpental di sekolah-sekolah negeri. Secara adminsitratif, antara SMU dan SMK menerapkan sistem seleksi yang berbeda. SMU mensyaratkan nilai hasil UN untuk bisa diterima, sementara SMK menambahi satu syarat lagi yakni semacam uji kompetensi. Karenanya ia menyimpulkan bahwa in put siswa yang masuk ke sekolah negeri 100% dijamin baik daripada siswa yang masuk ke sekolah swasta. Masih dalam pandangan Eko Sajarwo satu hal yang menjadi masalah bagi sekolah swasta yaitu out put yang pas-pasan. Ketiga, Paska PSB adalah masa yang paling perlu perhatian. Karena pada fase ini biasanya banyak pungutan atau dengan istilah sumbangan, uang pengembangan. Padahal, sejauh pemahamannya bahwa ternyata uang-uang sumbangan tersebut tidak jelas arah pembelanjaannya. Malahan sekolah terkesan tidak transparan atau dengan kata lain sekolah tidak menjalankan mekanisme pertanggungjawaban kepada wali siswa..
Sekolah rata-rata tidak mendahulukan logika programnya yang ditawarkan pada wali murid, melainkan lebih dahulu menawarkan kisaran uang yang harus disumbang oleh para wali murid. Maka dari itu, Eko Sajarwo DPK mendorong pada masyarakat untuk berani berembug masalah program pendidikan yang ditawarkan sekolah terkait. Dengan demikian masyarakat akan terlatih untuk mengetahui dan mengawal arah pendidikan yang diselenggarakan suatu sekolah.
Berbeda dengan pemaparan Eko, Aris Panji dari SRMB mengkritisi idiom ”jer basuki mawa bea”. Menurutnya secara makro idiom ini telah mengalami pergeseran makna. Masyarakat sekarang melihat bahkan meyakini bahwa kalau ingin pinter ya nganggo duwit. Paradigma masyarakat yang salah kaprah terhadap idiom ini dikarenakan perlakuan negara melalui lembaga-lembaga pendidikan formal yang menjadikan sekolah sebagai aset yang strategis untuk menyedot modal atau keuntungan dari masyarakat. Dengan kata lain negara melakukan kapitalisasi pendidikan, demikian Aris melontarkan kritik pedasnya.
Perilaku negara yang demikian, lagi-lagi dalam pandangan kritisnya, sebenarnya merupakan pengingkaran terhadap amanat konstitusi. sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 45 dan batang tubuh pasal 31, sebenarnya pendidikan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah. Namun pada kenyataannya beban pendidikan disandarkan pada masyarakat.
”Pemerintah membuat kebijakan untuk pendidikan sekolah gratis, akan tetapi tetap banyak berjalan pungutan-pungutan pasca diterimanya siswa, baik itu seragam yang memang setiap sekolah mempunyai seragam khusus yang menjadikan ciri sekolah tersebut, sumbangan untuk gedung dan masih banyak ini itu yang terjadi di dalamnya,” kata Borni dari Gampil.Ternyata juga masih banyak problem pendidikan di Kebumen pada sisi in putnya seperti biaya pasca pendaftaran yang terlalu mahal, terhegemoni oleh paradigma ”jer basuki mawa bea”, diskriminasi prestasi/ penghargaan terhadap siswa berprestasi sangat rendah.Itu yang sangat sensitif dan saat-saat sekarang sedang menjadi keresahan masyarakat khususnya kaum miskin. ”Anak kami yang baru saja lulus di sekolah menengah pertama negeri 1 diharuskan membayar biaya kelulusan sebesar Rp.157.000,00 untuk berbagai keperluan sekolah yang mungkin bisa disebut uang kenang-kenangan untuk sekolah yang akan ditinggalkan.Namun, ini memberatkan buat kami yang notabenenya penghasilan perhari pun tidak menentu karena tidak mempunyai pekerjaan tetap.Lain bagi mereka yang mampu, uang segitu tidak seberapa” kata ibu Wati. Damiri, seorang tukang becak dari desa Kembaran mengeluh karena tingginya dana sumbangan yang ditarik oleh sekolah menengah pertama di kelurahan Panjer. Damiri menyekolahkan dua anaknya di sekolah tersebut. masing-masing di kelas satu dan kelas tiga. herannya, setiap siswa kelas tiga yang akan purna tersebut harus membayar Rp. 300.000,- tanpa persetujuan para wali siswa. Padahal pada kesepakatan sebelumnya antara komite sekolah dan pihak sekolah sumbangan yang disetujui Rp. 100.000,-.
Lain dengan yang dialami Parno, warga perumahan Watu Barut, dirinya geram dengan tidak adanya kejelasan dari pemerintah, apakah mau menampung para siswa yang tidak lulus. Pasalnya keponakannya yang sekolah di MTSN model tidak lulus. Sementara dari pihak sekolah-sekolah negeri tidak mau menerima para siswa yang tidak lulus UN, karena tidak ada aturan baku yang mengatur tentang kondisi yang demikian. Termasuk dalam surat keputusan bersama antara Ka. Dinas P dan K dengan Ka. Kantor Departemen Agama tentang Penerimaan Peserta Didik pada Taman Kanak-Kanak/Raudhotul Atfal dan Siswa Pada Sekolah/Madrasah Tahun Pelajaran 2007/2008.
Dalam tahapan proses, GAMPIL merumuskan pendidikan di Kebumen khususnya paradigma ”jer basuki mawa bea” sama halnya dengan kapitalisme/ komersialisasi dunia pendidikan. Kurikulum pun tidak berpihak pada muatan lokal daerah.Reasoning yang tidak jelas pada pasal 13 dari Surat Keputusan bersama Pendidikan & Kebudayaan dan Departemen Agama.Program BOS dan DAK belum menjamin output pendidikan. Bahkan Agus dari LSM Kihajar Dewantara menengarai BOS malah mendorong kian meningginya pungutan dari pihak sekolah. Serta standar pelayanan yang sangat minimum untuk pendidikan.
Diberitakan dalam surat kabar serta dari hasil pengamatan kami, hasil keseluruhan Ujian Nasional di Kabupaten Kebumen jeblok.Mendapat peringkat hasil ujian terendah di Jawa Tengah.Paling tidak kita bisa melihat seberapa besar keberhasilan dunia pendidikan di Kebumen. Faktor apa yang menjadikan Kebumen buruk di mata pendidikan untuk tahun ini.Apa karena faktor kurikulum yang semakin membingungkan bahkan sampai-sampai sang gurupun tidak mampu dan maksimal dalam memahami kurikulum tersebut, atau faktor murid sendiri yang mempunyai banyak problem dan kendala yang diantaranya biaya sekolah yang semakin tidak jelas? Dari output tersebut mengakibatkan kaum miskin terncam tidak sekolah (khusus di sekolah yang notabenenya favorit).Inilah yang menjadikan kesenjangan sosial pendidikan yang sebenarnya melanggar hak asasi khususnya hak di dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Akhir dari pertemuan diskusi pendidikan pertama dilanjutkan diskusi kedua yang dilaksanakan Jum’at, 22 Juni 2007 pukul 13.30 wib di Gedung AMIK PGRI Jl.Kaswari Kebumen. Dari Ection plan identifikasi permasalahan pendidikan dan elemen atau aktor yang nantinya bisa diajak untuk bergerak dalam artian bergerak peduli terhadap nasib dunia pendidikan yang ada di Kebumen. Agus dari Ki Hajar Dewantoro mengatakan, ”kita harus menekankan pada pola sistemnya, contoh konkrit yang bisa kita lihat bahwa sebenarnya pembangunan fasilitas pagar SMUN 1 Kebumen tidak perlu lagi toh tidak ada yang memprotes pagar tersebut harus bagus.Uang pembangunan tersebut kan bisa dialokasikan ke sarana dan prasarana yang lain khususnya untuk bantuan siswa berprestasi tetapi kurang mampu, akan lebih bermanfaat untuk kemajuan pendidikan.” Memang tidak gampang seperti membalikkan telapak tangan terus akhirnya berubahlah sistem, tetapi harus melalui berbagai proses panjang.Tidak semudah itu juga sistem bisa kita dobrak dengan pola berhitung ini dikalikan ini ketemunya ini terus langsung kita menghadap dinas terkait dan akhirnya selesai.Bukan itu yang kita harapkan.Akan tetapi agar supaya bagaimana menindak lanjuti sistem di dalam pendidikan itu benar-benar bisa kita rubah akan tetapi tidak keluar dari jalurnya dan harus berpihak kepada masyarakat khususnya rakyat yang kurang mampu.
Pertemuan kedua tersebut menyepakati bahwa pemerintah harus berani menggratiskan biaya pendaftaran bagi sekolah negeri. Untuk itu forum menghendaki agar pasal 13 MoU antara P dan K dan Departemen Agama tentang PSB diganti dengan menggratiskan biaya pendaftaran. Selain itu pemerintah harus meminimkan pungutan paska pendaftaran siswa baru baik berupa pengadaan seragam, sumbangan dana pengembangan, dengan memperhatikan aspek kemampuan masyarakat miskin. Sekolah yang bebas pungutan untuk penerimaan siswa baru (PSB) maupun pasca PSB tersebut merupakan pintu masuk menghasilkan out put siswa yang berkualitas dan berprestasi.
Thursday, July 5, 2007
Subscribe to:
Comments (Atom)