Membangun Sistem Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif
Di Kabupaten Kebumen
Oleh : GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil))
Jl. Pahlawan No. 72 Kebumen
Email : Gampil@gmail.com, blog: http://gampil.blogspot.com
Pendahuluan
Terhitung semenjak bulan Desember 2006 sampai dengan Maret 2007 kabupaen Kebumen telah sedang melakukan kegiatan perencanaan dan penganganggaran untuk tahun anggaran 2008. Tahap perencanaan untuk APBD 2008 dimulai dengan penyelenggaraan musrenbangcam dari 16 hingga 28 Desember 2006. Setelah itu tahapan selanjutnya dilanjutkna ke forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), 12 s/d 19 Februari 2007. Pada tanggal 13-14 Maret diselengarakan forum Musyawarah Perencanaan Kabupaten atau yang biasa disingkat Musrenbangkab.
Rangkaian siklus perencanaan bisa dikatakan sebagai bentuk konsistensi pemerintah kabupaten Kebumen dalam menjalan roda pembangunan yang berbasis pada analisa kebutuhan masyarakatnya. Dengan menerapkan tahap perencanaan dari bawah berarti pemerintah kabupaten menerpkan konsep perencanaan pembangunan buttom up. Dimana penjaringan aspirasi atau usulan masyarakat dimulai dari level bawah. Dengan demikian, siklus perencaan dan penggaran yang dilakukan pemerintah kabupaten Kebumen telah membuka kran partisipasi masyarakat. Bahkan mungkin bisa dikatakan disini pemkab Kebumen telah melakukan tindakan jemput bola atas daftar kebutuhan warganya mulai dari desa.
Pada era desentralisasi pemerintahan sekarang ini kehidupan riil masyarakat beserta pernak pernik kehidupannya harus menjadi acuan arah pembangunan. Pengalaman era pemerintahan orde baru dengan sistem pemerintahan oligarkis dan sentralistik, mulai dari gagasan pembangunan berupa visi dan misi pembangunan sampai struktur program kegiatannya didisain oleh sekelompok aktor pemerintah dan parlemen. Akibatnya penerapan konsep pembangunannya mengabaikan peran serta masyarakat sebagai subyek pembangunan. Sebaliknya rakyat menjadi obyek pembangunan yang tidak pernah menerima manfaat pembangunan. Dampak lain skema prencanaan dan pengangguran pada era orde baru yaitu mengalirnya dana-dana pembangunan ke kantong-kantong rezim penguasa. Padahal dana-dana pembangunan sebagaiaman yang terinci dalam APBD dan APBN semuanya mangalir dari kantong-kantong rakyat.
Sekali lagi pelaksanaan tahapan perencanaan diatas beberapa waktu lalu memberi harapan baru akan terlahirnya arah pembangunan kabupaten Kebumen yang benar-benar menyandarkan pada analisa kebutuhan warganya, utamanya kelompok miskin dan perempuan. Pemerintahan yang dinahkodai oleh Hj. Rustriningsih telah memberi warna baru bagi tercovernya kepentingn kelompok miskin dan perempuan dalam agenda pembanguna 2008. Pola perencanaan yang telah disentuhkan sampai pada arena terkecil yakni kecamatan sudah semestinya disambut dengan partisipasi yang intensif oleh masyarakat Kebumen. Secara intensif mengandung arti proses pengawalan yang berkelanjutan dari masyarakat sejak proses awal perencanaan dan penganggarannya sampai monitoring pada tahap implementasi kebijakannya.
Kelahiran kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam wadah yang bernama Gampil merupakan bagian dari komitmen masyarakat sipil untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan Kebumen agar lebih baik. Komunitas masyarakat sipil yang saat ini beranggotakan hampir 25 lembaga sosial telah membangun komitmen bersama untuk mendorong terciptanya tatanan masyarakat sipil yang peduli dengan perjalanan pemerintahan kabupatennya. Khususnya di bidang perencanaan dan penganggaran yang partisipatif. Dengan menfokuskan pada penguatan masyarakat sipil agar berdaya dalam membangun dialog dengan pemerintah diharapkan akan terlahir masyarakat yang mampu menyampaikan aspirasi, mengawal dan memonitoring implementasi usulannya yang disahkan pemerintah sebagaimana termaktub dalam perda APBD.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Gampil telah melakukan agenda-agenda pemberdayan masyarakat sipil agar berdaya dalam konteks perjuangan partisipasinya. Gampil menyadari bahwa ketidakberdayaan masyarakat dalam menyampaikan, mengawal, memonitor dan mengevaluasi kinerja pemerintah dalam mengelola aspirasi akar rumput perlu dijembatani. Posisi Gampil sebagai jembatan disini dikandung maksud bahwa masyarakat harus berdaya memperjuangkan haknya sebagai warga negara dengan potensi mereka sendiri. Nah, disinilah Gampil mengambil peran fasilitasi dalam mendorong partisipasi krits masyarakat tersebut dalam siklus perencanaan dan penggaran kabupaten. Beberapa langkah kegiatan yang telah dilakukan yaitu FGD beserta masyarakat desa dari berbagai elemen didalamnya, dalam rangka mendorong mereka agar secara maksimal memperjuangkan haknya melalui musbangdes sampai tahap akhir yakni sampai usulan mereka benar-benar tercover dalam APBD. Dalam konteks ini Gampil memperkuat posisi masyarakat sipil dalam siklus perencanaan dan penganggaran dengan melibatkan diri dalam setiap tahapan. Misalnya, pada momentum musrenbangcam untuk tahun anggaran 2008 lalu terlibat di 10 kecamatan. Bentuk penguatan lain dalam rangka memberdayakan partisipasi masyarakat yaitu dengan membekali masyarakat dipil dengan pengetahuan mengenai perencanaan dan penganggaran partisipatif melalui kegiatan pelatihan, work shop atau pun yang bersifat diskusi publik.
Langkah-langkah yang ditempuh tersebut merupakan bagian dari komitmen Gampil dalam membangun demokrasi di arasy masyarakat bawah. Berlakunya sistem desentralistik mendambakan akan tumbuhnya partisipasi kritis dari masyarakat sipil. Saat daya topang masyarakat atas negara kuat dan dibarengi dengan pengelolaan sistem pemerintahan yang baik, maka kesejahteraan rakyat diharapkan juga terlahir disini. Akan tetapi sebaliknya, jika negara malah tidak merespon apa yang dibutuhkan warganya maka dapat dipastikan rakyat akan semakin miskin karena potensi besar negara bangsanya banyak tersedot ke atas. Pengalaman hidup dalam era orde baru mungkin bisa dijadikan contohnya disini.
Maka dari itu, semangat Gampil dalam membangun kekuatan partisipasi masyarakat tidak lain untuk mendorong terciptanya regulasi perencanaan dan anggaran pembangunan di kabupaten Kebumen peduli dengan nasib rakyat miskin. Semangat tersebut tidak semata-mata ditujukan pada semangat regulasinya itu sendiri. Melainkan juga bagaimana pengarusutamaan pro poor planning and budgetting juga menjadi bagiannya. Artinya proses perencanaan dan penganggaran pembangunan tanpa kehadiran kepekaan (sensitivity) dan kepedulian (awareness) para pembuat kebijakan yang tumbuh secara sadar dari dalam dirinya mustahil menghasilkan kebijakan APBD yang pro poor dan adil gender. Akhirnya kami berharap perjuangan kami akan mendapatkan respon positif dari para pengampu kebijakan. Sehingga masyarakat akan segera menerima kinerja baik dari pemerintah dalam melayani agenda-agenda rakyat menuju kesejahteraan hidup sebagai warga negara Indonesia.
Pengalaman Pelibatan
Jadi kami dalam membuat materi musrenbang itu diambilkan dari dokumen RPJMDes dan juga dari RPTK tahun sebelumnya yang belum teralisasi. Bahkan sejak tahun 98, banyak sekali usulan yang masuk usulan tahun 2007 banyak sekali yang belum terealisasi. Jadi produk RPTK kalau kita lihat dari tahun 2000 ke sini banyak sekali usulan yang sama.
Seorang aparat kecamatan Pejagoan
Mencermati proses dan perjalanan siklus perencanaan dan penganggaran di kabupaten kebumen untuk tahun anggaran 2008 khususnya ada beberapa wacana yang perlu didiskusikan. Harapannya dengan diskusi dalam relasi state dan civil society yang terus menerus antara masyarakat sipil dengan pemerintah akan menghasilkan bangunan partispasi yang dialogis dan seimbang. Siklus perencanaan dan penggaran yang saat ini masih berjalan merupakan potret bangunan dialogis tersebut. Sebagai konsep ideal sistem perencanaan dan penganggaran yang digunakan pemerintah kabupaten Kebumen tentu diharapkan akan melahirkan kebijakan pembangunan yang partisipatif. Namun relasi yang tidak seimbang antara kepentingan negara dengan masyarakat sipil berakibat pada tidak sempurnanya pelaksanaan tahapan perencanaan dan penganggaran yang hingga kini sedang menuju pembuatan dokumen RKPD. Dengan kata lain proses perencanaan dan penggaran mulai dari musrenbangcam, forum SKPD dan musrenbangkab masih jauh dari standar partisipatif.
Kenapa siklus perencanaan tersebut masih belum partisipatif dan menghasilkan kebijakan program dan anggaran pembangunan. Hasil studi Gampil pada proses dan pelaksanaan tahapan perencanaan kemarin menunjukan potret sebagai berikut;
1. Perjalanan tahapan perencanaan dan penganggaran untuk APBD 2008 tidak diawali tahapan musbangdes. Sebenarnya, sebagai dasar perencanaan musbangdes menempati posisi krusial. Karena di level inilah sebenarnya usulan-usulan masyarakat yang murni muncul dan terucap dari subyek pembangunan itu sendiri. Beberapa informasi mengatakan bahwa nihilnya tahapan musbangdes pada proses perencanaan tahun anggaran 2008 ini karena pihak pemerintah kabupaten memandang cukup kalau musrenbangcam 2007 menggunakan RPJMDes dan RPTDes sebagai basis materinya. Padahal musbangdes merupakan instrumen yang sangat penting bagi masyarakat desa, selain sebagai media pembelajaran politik kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit desa yang terkesan tidak siap terlibat secara aktif di musrenbangcam. Sebagaimana terungkap dalam beberapa pertemuan Gampil, di forum evaluasi SKPD dan musrenbangkab, banyak kecamatan mengeluhkan usulan dari desa yang keluar dari koridor RPJMDes dan RPTDes. Meski demikian pihak kecamatan menghimpun setiap usulan dari desa, sebagaimana dirangkum dalam RPTK yang dibawa ke tahap forum SKPD. Sayangnya, RPTK hanya menampung semua usulan dari desa namun tidak dibarengi komitmen kuat pihak kecamatan untuk memperjuangkannya hingga lahir dalam renja SKPD.
2. Sosialisasi yang terkait dengan jadwal, petunjuk pelaksanaan dan teknis kegiatan musrenbangcam berikut tahap berikutnya kami nilai masih lemah. Rentan waktu yang sempit antara penyampaian undangan dan waktu pelaksanaan tidak memberi ruang yang cukup bagi desa untuk menyiapkan materi-materi usulan yang akan dibawa ke musrenbangcam. Yang terjadi kemudian draft materi musrenbangcam dibuat oleh pihak pemerintah kecamatan. Dampaknya, pembelajaran perencanaan pembangunan di tingkat desa tidak berjalan. Karena dengan demikian kendali perencanaan tetap dipegang oleh lembaga supra desa. Selain itu sosialisasi terkait dengan hal yang sifatnya substansi juga belum terpahamkan sampai masyarakat bawah. Sebagaimana disampaikan salah seorang aktivis Gampil dari ormas Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dalam sebuah forum evaluasi forum SKPD menyampaikan statemen sebagai berikut ”Untuk istilah kegiatan musbangdus, musrenbangcam kurang tersosialisasi ke masyarakat. Kalau kita lihat yang mengikuti ya itu-itu saja, yang paham ya itu-itu saja. Jadi masyarakat kurang memahami bahwasannya ada forum untuk mengemukakan apa kebutuhan mereka, apa persoalan mereka. Terus yang kedua juga mekanismenya. Kalau ada seseorang katakanlah, anggota masyarakat yang mengikuti ditingkatan dusun ia kurang paham kadang-kadang ada mekanisme berjenjang ke atas. Setelah ini di usulan mereka akan dibawa ke tingkat desa, kecamatan, kabupaten atau bahkan ke tingkat propinsi dan nasional. Yang mereka pahami ada undangan dari RT atau dusun, mereka diminta untuk mengusulkan apa kegiatan yang dilakukan. Hanya itu saja. Mereka tidak mengetahui mekanisme dan tidak ada sosialisasi, akhirnya mereka tidak mau mengawal lagi”.
3. Alur dan proses pada setiap tahapan perencanaan masih memperlihatkan mekanisme yang belum partisipatif. Bahkan dalam level tertentu bisa dikatakan masih teknokratis dan formalistik. Pelaksanaan forum SKPD yang rata-rata hanya memakan waktu satu sampai dua jam membuat kegiatan tersebut terkesan tidak maksimal. Bahkan, ada SKPD yang hanya memanfaatkan alokasi waktu setengah jam tanpa penyebarluasan materi kepada peserta. Di forum tersebut tidak terjadi pembahasan yang mendalam atas rancangan program dan anggaran kegiatan yang tercantum dalam draft renja SKPD. Keterlambatan penyampaian materi pada peserta SKPD menjadi salah satu faktor mengapa perdebatan substansi tersebut tidak berjalan maksimal.
4. Dalam sebuah forum evaluasi musrenbangkab, seorang aparat dari salah satu dinas pemerintah menyampaikan demikian ”Ada kritik juga untuk pelaksanaan forum SKPD sekarang. Kenapa kemudian forum SKPD yang menyelenggarakan itu Bappeda? Tapi kalau tahun kemarin oleh SKPD dan sudah berjalan. Kita kembali ke aturan saja bahwa aturan penyelenggaraan forum SKPD yang namanya forum SKPD langsung dihandle oleh SKPD atau satker berikut beserta seluruh elemen terkait dan dinas sektor stake holder yang lain sehingga kajiannya lebih mendalam. SKPD yang kemarin karena massal, akhirnya kita hanya apa ya disitu tidak terjadi kristalisasi. Sementara yang ada hanya semacam saya usul seperti ini. Kalau di forum SKPD mungkin 2005 untuk membahas 2006, itu sudah menyelenggarakan sendiri-sendiri. Dan itu kedalamannya bisa sesuai dengan tujuan awal yaitu singkronisasi. Itu mengenai pola perencanaan”. Kritik yang disampaikan aparat pemerintah tersebut satu sisi menunjukan kelemahan pelaksanaan forum SKPD lalu. Secara komparatif dikatakan diatas bahwa pelaksanaan forum SKPD dibawah koordinasi Bappeda tidak menghasilkan proses yang maksimal. Di sisi lain menawarkan untuk kembali kepada pola pelaksanaan yang lama dimana forum SKPD langsung ditangani di masing-masing SKPD dengan melibatkan stake holder-stake holder yang memiliki bidang kerja sesuai dengan fungsi SKPD bersangkutan.
Sejauh pengamatan gampil, khususnya di forum SKPD pelibatan stake holder mengesankan penempatan yang tumpang tindih. Tidak sedikit SKPD melibatkan stake holder yang tidak memiliki kapasitas bidang kerja yang nyambung dengan SKPD terkait. Secara teknis nampak sekali, karena dalam satu hari dan ruang yang sama, sama sekali tidak terjadi pergantian peserta forum SKPD. Padahal pada saat itu terjadi pergantian pembahasan SKPD yang sudah barang tentu berbeda bidang dan fungsi kerjanya.
5. Pelibatan elemen masyarakat dalam proses perencanaan masih terbatas. Sebagian besar peserta berangkat dari lembaga-lembaga korporatis yakni organisasi atau lembaga pemerintah. Dipihak lain keterlibatan organisasi masyarakat, LSM dan lembaga profesi juga masih didominasi oleh lembaga-lembaga yang secara formal telah terdaftar dalam buku pemerintah (dinas Kebanglinmas) dan mempunyai akta notaris pendirian. Padahal pelibatan komunitas-komunitas warga seperti kelompok tani, komunitas tukang becak, dan komunitas-komunitas dampingan LSM akan memberi kontribusi besar pada daftar perencanaan pembangunan sendiri. Dan demikian, disinilah sesungguhnya konteks perjuangan mandiri masyarakat sipil.
Disamping itu Gampil juga masih melihat lembaga-lembaga peserta forum perencanaan khususnya di musrenbang kabupaten banyak yang tidak hadir alias menjadi peserta forum-forum perencanaan sebelumnya. Tentu saja discontinuity peserta forum perencanaan dan penganggaran mengakibatkan adanya missing link dalam perjalanan siklusnya. Lembaga-lembaga peserta musrenbang kabupaten yang tdiak dilibatkan dalam tahap perencanaan sebelumnya tentu banyak yang hanya sekedar hadir, memenuhi quorum undangan, tanpa banyak memberikan insight (wawasan), karena tidak mengikutinya dari awal perencanaan. Akhirnya, di musrenbang kabupaten lalu, kehadiran peserta dengan jumlah yang lebih banyak dibanding dengan forum-forum perencanaan sebelumnya mengesankan menjadi alat legitimasi musrenbangkab.
6. Hasil studi Bappeda Kebumen terhadap RPTK 2007 (hasil musrenbangcam) menunjukan derajat ketimpangan prioritas usulan dari masyarakat. Lihat table;
| NO | BIDANG | KEGIATAN | ANGGARAN (Rp.) |
| 1. | EKONOMI | 480 | 38.023.187.000,- |
| 2. | SOSBUD | 1.674 | 131.361.328.767,- |
| 3. | PENGWIL | 968 | 198.434.509.030,- |
| JUMLAH | 3.122 | 367.819.024.797,- | |
Dengan melihat tabel diatas, nampak perbedaan yang cukup jauh atas usulan masyarakat di tiga sektor ekonomi, sosial dan budaya, dan pengembangan wilayah. Dari tabel tersebut terbaca cara pandang masyarakat dalam mengatasi persoalan yang dihadapi, dan membawanya ke meja perencanaan pembangunan pada pemerintah. 70% usulan masyarakat banyak ditujukan pada dinas-dinas pemerintah yang berkaitan dengan fungsi-fungsi sosial dan budaya seperti kesehatan, dan pendidikan. Sementara masalah sosial yang berkaitan dengan penguatan ekonomi masyarakat malah terhitung hanya 10%. Sisanya 20% pada urusan pembangunan infrastruktur dan pengembangan wilayah. Kalau dikupas lebih dalam, 3.122 usulan masyarakat di tiga sektor tersebut banyak terdapat usulan yang bersifat fisik. Dan dari 3.122 usulan tersebut kami yakin tidak semuanya tertampung dalam kebijakan perencanaan dan penganggaran pemerintah.
Jika prosentase usulan dari tahun ke tahun dalam skema perencanaan pembangunan tidak berubah, maka kami berkesimpulan tidak akan merubah prioritas pembangunan kabupaten kebumen. dengan demikian akan terjadi pengabaian prioritas pembangunan pada sektor lain. Simak pendapat salah seorang pegawai dinas perindagkop berikut; ”Di musrenbang kabupaten, kita sudah mengajukan. Karena ada pagu kami disuruh memangkas usulan anggaran dari kami. Karena pertimbangannya begitu kami jadi kebingungan. Disana sudah ada plafonnya, otomatis mau tidak mau kita harus mengurangi anggaran yang 3,3 milyar. Tetapi disini bunyinya tidak dikurangi hanya dimasukan dalam kotak kecil. Kotak kecil itu dimana nanti bila ada kesempatan misalnya ada anggaran perubahan bisa diusulkan lagi. Namun yang inikemarin dikurangi 145 juta. Padahal kita sudah dari awal, kita sudah memilih prioritas program tapi harus terpangkas karena pengurangan anggaran tersebut”.
Dengan menyimak sekilas pendapat tersebut, sesungguhnya terdapat semangat dari dinas perindagkop untuk mendongkrak program pemberdayaan ekonomi yang diembannya ke arah yang lebih baik dengan kucuran dana yang tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang masih berkisar 2 milyaran rupiah. Disamping karena skema prioritas pembangunan pemerintah kabupaten Kebumen yang menitik beratkan pada tiga sektor utama yaitu Pendidikan, Kesehatan dan infrastruktur, prosentase usulan masyarakat yang sangat kecil disektor ekonomi juga turut memperlemah penguatan pembangunan disektor lainnya. Padahal secara jamak persoalan di sektor ekonomi merupakan titik krusial yang saat ini dihadapi masyarakat. Namun karena dukungan usulan di sektor tersebut sangat kecil, akibatnya orientasi pemerintah dalam mengembangkan dan memperkuat sektor ekonomi pun kecil. Kondisi tersebut kian disayangkan manakala asupan dana untuk dinas perindagkop juga sangat terbatas. Sudah terbatas dipotong pula.
7. Pemerintah kabupaten Kebumen belum secara berani memajang daftar usulan dari bawah yang lulus pada tahapan SKPD, Musrenbangkab dan RKPD. Pada saat perencanaan masih menginjakan kakinya di musrenbang kecamatan (dalam RPTK), masih terlihat jelas sikap akomodatif pemerintah. Karena di dokumen tersebut bisa dikatakan 100% usulan dari bawah (desa) tercover didalamnya. Sayangnya sikap akomodatif pemerintah kecamatan ini didasari oleh satu kondisi ketertekanan. Pemerintah kecamatan takut kalau masyarakat desa melakukan demo, karena mereka berharap besar usulan mereka tercover semuanya. Hal tersebut terungkap dari pernyataan seorang aparat pemerintah kecamatan Gombong dalam forum evaluasi SKPD Februari lalu.
Kemunculan usulan masyarakat di RPTK bisa kita nilai sebagai kepedulian pemerintahpada warganya. Namun sayangnya setelah masuk pada tahapan SKPD dan Musrenbangkab, banyak usulan-usulan masyarakat yang terpangkas oleh program-program baru yang asal-usulnya tidak melalui mekanisme perencanaan formal prosedural. Di forum SKPD sendiri banyak pihak kecamatan yang tidak bisa memastikan tercover tidaknya usulan hasil musrenbangcam dalam renja SKPD. Kita mungkin akan percaya dengan tesis tersebut dengan menyimak pendapat seorang pegawai kecamatan Klirong berikut; ”Memang untuk forum SKPD atau musrenbangkab diawali musbangdes. Memang di desa itu kemarin ada yang melakukan musbangdes ada yang tidak tapi di desa itu sudah memiliki dokumen. Namanya dokumen RPJMDes untuk 2006-2010. Sehingga banyak desa atau kami kecamatan, menyuplik dari usulan-usulan desa. Jadi jalan pintasnya demikian. Kalau keduanya, nanti di forum musrenbangcam nanti menambahlah dari masing-masing desa, yang tidak tercover bisa dimasukan ke musrenbangcam. Jadi sehingga kita untuk mengusulkan itu sebetulnya dulu kita sudah mengadakan forum musrenbang setiap tahun. Untuk kemarin untuk 2007, kemarin untuk 2008. tapi kita mengusulkan 2008 yang 2007 itu usulnya apa sih yang sudah tercover dari anggaran 2007 itu nggak tahu. Untuk mengusulkan anggaran 2008 kan dilihat dulu 2007, usulan itu sudah apa belum sih. Misalkan kita mengusulkan senderan irigasi diusulkan 2005 untuk 2007. tapi akan tidak diberi tahu sudah masuk apa belum. Sehingga kurang efektif. Tidak ada evaluasi. Sehingga ini masukkan buat Bappeda yang harus memberitahukan dan mengeluarkan petunjuk data kecamatan yang sudah terrealisasi dan yang belum. Sehingga kita tidak perlu mengsulkan lagi”.
Sekali lagi pendapat diatas juga memperlihatkan sisi kekacauan sistem perencanaan pembangunan. Nampak disini perilaku jalan pintas dalam memenuhi daftar usulan yang akan dibawa musrenbangcam, tanpa melalui mekanisme musbangdes dan tanpa mengacu pada RPJMDes dan RPTDes. Pendapat diatas juga cukup memberi tahu kita banyaknya usulan-usulan dari bawah yang mental meski berulang kali diusulkan dari tahun ketahun melalui mekanisme perencanaan yang formal prosedural tersebut. Hal ini bersebab belum adanya sikap keterbukaan dari pemerintah kabupaten pada pemerintah dibawahnya atas daftar usulan yang masuk dalam kebijakan rencana dan belanja pembangunan dari renja SKPD, maupun di musrenbangkab.
8. Forum SKPD dan musrenbangkab belum berfungsi secara maksimal sebagai mekanisme perencanaan yang mampu menferifikasi dan mengesahkan usulan-usulan yang logis dengan prioritas agenda pembangunan. Gampil menilai pelaksanaan kedua mekanisme perencanaan tersebut masih sebatas presentasi ke presentasi. Dari tanya jawab ke tanya jawab. Artinya forum sama sekali tidak berhasil menyepakati atau menyaring usulan-usulan program kegiatan. Secara diplomatis forum dikuasai pihak dinas-dinas tertentu sebagai pemegang kendali projek pembangunan. Misalnya, sebagai nara sumber masyarakat tidak mendapat kesempatan menduduki posisi tersebut. Penyebab lain yang memungkinkan tersumbatnya saluran aspirasi masyarakat yang mampu meloloskan usulan dari bawah yaitu masih ada indikasi penguasaan pos-pos kegiatan oleh aktor-aktor di eksekutif maupun legislatif. Perilaku aneksasi program pembangunan tersebut mengakibatkan prosentase program kegiatan yang bisa dinikmati langsung oleh masyarakat sangat kecil.
9. Paduserasi usulan program antar dinas juga kami temukan masih timpang. Misalnya, dalam draft materi presentasi dalam SKPD (renja SKPD) dari dinas pertanian terdapat usulan program bernama P4K. Kegiatan Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil dalam renja SKPD dianggarkan Rp. 2.000.000. Sebagaimana disampaikan kadinas pertanian, program tersebut berupa bantuan untuk idnustri kecil berbasis hasil pertanian yang dulunya bekerja sama dengan BRI. Namun setelah BRI tidak lagi mengambil peran dalam program tersebut, program tersebut tetap diagendakan. Menanggapi penjelasan kadinas Pertanian, peserta mengajukan argumentasi bahwa secara fungsional maka pemberian kredit sebagai modal usaha masyarakat kontra produktif dengan tupoksi dinas pertanian. Maka peserta menyarankan untuk alokasi dana tersebut ke dalam dua alternatif. Pertama, dialokasikan untuk program kegiatan pengembangan sistem tunda jual yang menurut peserta sangat membutuhkan kucuran dana diatas 1 milyar. Menurut peserta program kegiatan tunda jual ini akan mencapai target maksimal dengan alokasi anggaran 5 milyar. Kedua, dana tersebut dialihkan ke dinas perindagkop, karena secara teknis kegiatannya adalah tupoksi dinas tersebut. Peserta juga berpendapat bahwa usaha produksi hasil pertanian menjadi komoditas ekonomi bukan tugas dinas pertanian. Melihat perdebatan tersebut, diakhir sesi pemaparan dinas pertanian pihak Bappeda menyampaikan tidak ada perubahan pada dua program tersebut (P4K dan sistem tunda jual). Hal tersebut terjadi mungkin karena masih adanya ego sektoral dan belum terpahamkannya tupoksi masing-masing dinas. Sehingga masih kita temukan program-program pembangunan yang tidak pada tempatnya.
Rekomendasi
Memang kami akui bahwa pelaksanaan proses perencanaan dan penggaran pembangunan oleh pemerintah kabpaten Kebumen merupakah langkah baik dalam upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis. Meski masih sama-sama kita temukan kekurangan dan keberhasilan yang mengemuka dalam pelaksanaan forum musrenbangcam sampai musrenbangkab lalu, disini kami mencoba merekomendasikan beberapa perspektif yang mungkin bermanfaat bagi kesempurnaan siklus perencanaan dan penggaran partisipatif kabupeten Kebumen ke depan.
Pertama, Pemerintah perlu membuat payung regulasi berupa perda sebagai aturan hukum yang kuat tentang mekanisme perencanaan dan penganggaran pembangunan termasuk kalender pelakanaanya. Perwujudan Perda tersebut merupakan implemntasi dari Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan nasional dan juga perda partisipasi yang telah dibuat pemerintah kabupaten Kebumen.
Kedua, perlu segera dibentuk komisi partisipasi. Komisi ini diandaikan akan secara aktif mendorong terciptanya peran serta masyarakat dalam siklus perencanaan dan penganggaran pembangunan serta mengawal, memonitor dan mengevaluasi perjalanan siklus tersebut. Sehingga diharapkan menghasilkan agenda-agenda pembangunan yang terbangun diatas sistem perencanaan dan penganggaran yang partisipatif.
Ketiga, pihak eksekutif harus melakukan langkah untuk memberitahukan kepada dinas-dinas SKPD atau pihak kecamatan berikut pemerintah desa tentang pagu indikatif anggaran pembangunan, kami pandang sebagai upaya membangun keterbukaan (transparansi) serta membangun bentuk partisipasi masyarakat yang didasari pada pertimbangan logis. Selama ini paradigma yang berkembang di masyarakat adalah ”wong njaluk ya sing akeh, diwei akeh apa setitik kan terserah sing ngeweih”. Cara pandang masyarakat bukan mutlak kekeliruan masyarakat dalam menyampaikan kisaran anggaran dari usulannya. Akan tetapi karena sikap pemerintah yang belum secara terbuka pada masyarakat tentang kisaran pagu anggaran yang akan digelontorkan untuk membiayai pembangunan bagi masyarakat. Hal ini juga menyulitkan pihak-pihak terkait dalam menyusun struktur prioritas pembangunan.
Ketiga, pemerintah perlu membuatkan forum khusus pasca musrenbangcam dan pasca forum SKPD dengan melibatkan elemen-elemen masyarakat yang mempunyai kompetensi sesuai dengan fungsi kerja SKPD. Forum ini sangat perlu sebagai tahapan perencanaa untuk membangun konsolidasi dan kesepahaman antar pemerintah kecamatan dan antar dinas sektoral. Dengan langkah tersebut diharapkan akan menghasilkan program-program pembangunan yang padu dan serasi antar dinas-dinas terkait. Dan meminimalisir ego sektoral yang acap kali mewarnai perdebatan proses perencanaan dan penggaran. Forum ini juga mengandaikan ada pendiskusian secara tajam dan kritis atas rencana program pembangunan. Sehingga program pembangunanya akan sejalan dengan visi misi kabupaten.
Keempat, Pemerintah harus bersedia mempublikasikan setiap rumusan hasil dari setiap tahapan perencanaan dan penganggaran kepada masyarakat. Hal ini penting dilakukan agar masyarakat tahu perkembangan selanjutnya atas usulan yang telah mereka sampaikan dalam forum-forum perencanaan yang telah diikutinya. Masyarakat juga lebih siap dalam mengawal usulannya dan akan tumbuh budaya dialogis antara masyarakat dengan pemerintah. Pengalaman selama ini, justru rumusan berupa hasil-hasil penyerapan aspirasi sejak dari tahapan terbawah malah hanya disampaikan secara vertikal kepada strutur pemerintah diatas. Secara umum masyarakat kehilangan usulannya setelah memasuki tahapan musrenbangcam dan SKPD. Begitu masuk di RKPD kian banyak usulan dari bawah yang hilang.
Kelima, Pelaksanaan forum SKPD lebih ideal dikembalikan pada masing-masing SKPD dengan melibatkan stake holder yang mempunyai korelasi dengan fungsi kerja dinas tertentu. Pun demikian dengan musrenbang kabupaten harus dibarengi dengan sikap konsisten semua pihak dalam merumuskan agenda pembangunan. Sehingga tidak lagi kita dapati forum-forum penajaman diluar kanal perencanaan formal prosedural yang hanya melibatkan kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang bisa merubah kesepakatan di forum musrenbangkab.
Keenam, antara pihak eksekutif dan legislatif harus berani membangun kesepakatan tentang prosentase usulan yang akan dicover dalam APBD. Kita tahu, minimal ada dua jalur penyerapan aspirasi / usulan rencana pembangunan. Pihak legislatif dengan melalui jalur jaring asmara, sedangkan pemerintah (eksekutif) melalui jalur perencanaan dan poenggaran sebagaimana diatur dalam permendagri no.13 tahun 2006.
Ketujuh, untuk menghasilkan prioritas pembangunan yang pro poor dalam arti untuk mengurangi derajat kemiskinan, pemerintah harus menyesuaikan agenda-agenda kegiatannya dengan dokumen SRTPK (Strategi Rencana dan Tindak Penanggulangan Kemiskinan). Karena kalau tidak ditinjau sisi kemanfaatan program pembangunan pada kaum miskin maka pembangunan hanya bermanfaat bagi kelompok mapan. Dalam kaitan ini juga perlu diperhatikan program pembangunan yang senditif gender. Terutama dampak dan kemanfaatannya bagi kelompok perempuan.