Thursday, July 5, 2007
”Kesepakatan Bersama Ka.Dinas P dan K dan Ka. Kantor Departemen Agama Kab. Kebumen Perlu Ditinjau Ulang”
Dengan mengundang orang-orang yang berkompeten di dalamnya, seperti lembaga swadaya masyarakat berbasis pendidikan seperti DPK, PGRI, LSM Kihajar Dewantara, FORMASI, dan lembaga-lembaga lain yang tergabung dalam GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil); LSM Tanah Air, Sekolah Rakyat Melu Bae, KPI, LKD, dan sebagainya. Serta kalangan mahasiswa dari beberapa pengurus BEM universitas dan organisasi gerakan mahasiswa; PMII, dan GMNI di Kebumen yang banyak menyuarakan kepentingan masyarakat sipil khususnya kaum miskin.
Acara dibuka oleh Borni dari GAMPIL dengan bacaan basmalah dan sedikit prakata awal. Latar belakang tema tersebut sebagaimana disampaikan oleh Borni sebagai moderator pada awal diskusi bahwa gampil melihat ada korelasi yang berbanding lurus antara in put dan out put. Namun sistem sekarang masih belum berpihak pada in put. Menjelang tahun ajaran baru (2007-2008) sekarang ini misalnya, siswa akan kembali terbebani dengan tingginya biaya pendaftaran dan setelahnya. Ribuan siswa akan mengeluh kepada orang tuanya, karena sekolahnya meminta berbagai sumbangan seperti uang pengembangan, uang seragam, dana ekstrakurikuler. Akhirnya, karena sedari awal siswa sudah terbebani dengan hal-hal demikian, maka tidaklah mengherankan kalau selama mengikuti proses belajar mengajar siswa tidak bisa konsentrasi penuh. Bukti dari tesis tersebut yaitu satu kenyataan kemarin yang menempatkan kabupaten Kebumen sebagai daerah paling rendah untuk hasil nilai Ujian Nasional. Jebloknya hasil UN tersebut mungkin disebabkan oleh aspek penerimaan siswa baru disetiap awal tahun ajaran dan perlakuan sistem pendidikan yang masih belum maksimal dan cenderung menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan kebijakan.Selanjutnya acara diserahkan sepenuhnya kepada teman-teman GAMPIL dan teman-teman dari elemen lain untuk mendiskusikan tema yang sedang diangkat tersebut.
Eko Sudjarwo salah satu yang kala itu mewakili H. Dirgoyuswo dari Dewan Pendidikan Kebumen mengemukakan, ”bahwa kita harus memahami dan meneliti pasal 13 yang notabenenya kembali pada era 2 tahun silam, yaitu terjadinya pungutan-pungutan penerimaan siswa baru.Padahal pemerintah sendiri sudah mengalokasikan dana tersendiri atau DAS untuk SMA/ SMK/ MA swasta juga untuk sekolah-sekolah negeri seperti BOS dan DAK.” Memang sangat tidak mungkin ketika pemerintah membuat peraturan tersebut tanpa di iringi dengan strategi, baik buruknya serta untung dan ruginya.Apa yang sebenarnya ada di balik itu semua merupakan kebijakan sang pembuat peraturan tersebut.Personal lembagakah, atau yang berpihak pada civil society atau masyarakat sipil? Itu yang sebenarnya menarik untuk kita telusuri.
Dalam kesempatan itu pula Eko mengangkat beberapa point wacana diantaranya; pertama, penyelenggaraan PSB atau kepanjangan Penerimaan Siswa Baru telah ada landasan hukumnya yaitu Surat Keputusan Bersama antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan Departemen Agama. Menurutnya, klausul mengenai PSB dalam naskah MoU tersebut sudah memenuhi standar persyaratannya, dan MoU tersebut berlaku untuk sekolah negeri. Kedua, model penerimaan siswa baru yang diselenggarakan sekolah negeri memiliki tingkat kualifikasi yang lebih baik dibanding sekolah swasta. Sekolah negeri menerapkan sistem penerimaan siswa baru yang mampu menyeleksi siswa-siswa berprestasi dengan baik, sementara di sekolah swasta baginya mengesankan asal menerima saja, tidak lain karena hanya menerima siswa-siswa yang terpental di sekolah-sekolah negeri. Secara adminsitratif, antara SMU dan SMK menerapkan sistem seleksi yang berbeda. SMU mensyaratkan nilai hasil UN untuk bisa diterima, sementara SMK menambahi satu syarat lagi yakni semacam uji kompetensi. Karenanya ia menyimpulkan bahwa in put siswa yang masuk ke sekolah negeri 100% dijamin baik daripada siswa yang masuk ke sekolah swasta. Masih dalam pandangan Eko Sajarwo satu hal yang menjadi masalah bagi sekolah swasta yaitu out put yang pas-pasan. Ketiga, Paska PSB adalah masa yang paling perlu perhatian. Karena pada fase ini biasanya banyak pungutan atau dengan istilah sumbangan, uang pengembangan. Padahal, sejauh pemahamannya bahwa ternyata uang-uang sumbangan tersebut tidak jelas arah pembelanjaannya. Malahan sekolah terkesan tidak transparan atau dengan kata lain sekolah tidak menjalankan mekanisme pertanggungjawaban kepada wali siswa..
Sekolah rata-rata tidak mendahulukan logika programnya yang ditawarkan pada wali murid, melainkan lebih dahulu menawarkan kisaran uang yang harus disumbang oleh para wali murid. Maka dari itu, Eko Sajarwo DPK mendorong pada masyarakat untuk berani berembug masalah program pendidikan yang ditawarkan sekolah terkait. Dengan demikian masyarakat akan terlatih untuk mengetahui dan mengawal arah pendidikan yang diselenggarakan suatu sekolah.
Berbeda dengan pemaparan Eko, Aris Panji dari SRMB mengkritisi idiom ”jer basuki mawa bea”. Menurutnya secara makro idiom ini telah mengalami pergeseran makna. Masyarakat sekarang melihat bahkan meyakini bahwa kalau ingin pinter ya nganggo duwit. Paradigma masyarakat yang salah kaprah terhadap idiom ini dikarenakan perlakuan negara melalui lembaga-lembaga pendidikan formal yang menjadikan sekolah sebagai aset yang strategis untuk menyedot modal atau keuntungan dari masyarakat. Dengan kata lain negara melakukan kapitalisasi pendidikan, demikian Aris melontarkan kritik pedasnya.
Perilaku negara yang demikian, lagi-lagi dalam pandangan kritisnya, sebenarnya merupakan pengingkaran terhadap amanat konstitusi. sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 45 dan batang tubuh pasal 31, sebenarnya pendidikan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah. Namun pada kenyataannya beban pendidikan disandarkan pada masyarakat.
”Pemerintah membuat kebijakan untuk pendidikan sekolah gratis, akan tetapi tetap banyak berjalan pungutan-pungutan pasca diterimanya siswa, baik itu seragam yang memang setiap sekolah mempunyai seragam khusus yang menjadikan ciri sekolah tersebut, sumbangan untuk gedung dan masih banyak ini itu yang terjadi di dalamnya,” kata Borni dari Gampil.Ternyata juga masih banyak problem pendidikan di Kebumen pada sisi in putnya seperti biaya pasca pendaftaran yang terlalu mahal, terhegemoni oleh paradigma ”jer basuki mawa bea”, diskriminasi prestasi/ penghargaan terhadap siswa berprestasi sangat rendah.Itu yang sangat sensitif dan saat-saat sekarang sedang menjadi keresahan masyarakat khususnya kaum miskin. ”Anak kami yang baru saja lulus di sekolah menengah pertama negeri 1 diharuskan membayar biaya kelulusan sebesar Rp.157.000,00 untuk berbagai keperluan sekolah yang mungkin bisa disebut uang kenang-kenangan untuk sekolah yang akan ditinggalkan.Namun, ini memberatkan buat kami yang notabenenya penghasilan perhari pun tidak menentu karena tidak mempunyai pekerjaan tetap.Lain bagi mereka yang mampu, uang segitu tidak seberapa” kata ibu Wati. Damiri, seorang tukang becak dari desa Kembaran mengeluh karena tingginya dana sumbangan yang ditarik oleh sekolah menengah pertama di kelurahan Panjer. Damiri menyekolahkan dua anaknya di sekolah tersebut. masing-masing di kelas satu dan kelas tiga. herannya, setiap siswa kelas tiga yang akan purna tersebut harus membayar Rp. 300.000,- tanpa persetujuan para wali siswa. Padahal pada kesepakatan sebelumnya antara komite sekolah dan pihak sekolah sumbangan yang disetujui Rp. 100.000,-.
Lain dengan yang dialami Parno, warga perumahan Watu Barut, dirinya geram dengan tidak adanya kejelasan dari pemerintah, apakah mau menampung para siswa yang tidak lulus. Pasalnya keponakannya yang sekolah di MTSN model tidak lulus. Sementara dari pihak sekolah-sekolah negeri tidak mau menerima para siswa yang tidak lulus UN, karena tidak ada aturan baku yang mengatur tentang kondisi yang demikian. Termasuk dalam surat keputusan bersama antara Ka. Dinas P dan K dengan Ka. Kantor Departemen Agama tentang Penerimaan Peserta Didik pada Taman Kanak-Kanak/Raudhotul Atfal dan Siswa Pada Sekolah/Madrasah Tahun Pelajaran 2007/2008.
Dalam tahapan proses, GAMPIL merumuskan pendidikan di Kebumen khususnya paradigma ”jer basuki mawa bea” sama halnya dengan kapitalisme/ komersialisasi dunia pendidikan. Kurikulum pun tidak berpihak pada muatan lokal daerah.Reasoning yang tidak jelas pada pasal 13 dari Surat Keputusan bersama Pendidikan & Kebudayaan dan Departemen Agama.Program BOS dan DAK belum menjamin output pendidikan. Bahkan Agus dari LSM Kihajar Dewantara menengarai BOS malah mendorong kian meningginya pungutan dari pihak sekolah. Serta standar pelayanan yang sangat minimum untuk pendidikan.
Diberitakan dalam surat kabar serta dari hasil pengamatan kami, hasil keseluruhan Ujian Nasional di Kabupaten Kebumen jeblok.Mendapat peringkat hasil ujian terendah di Jawa Tengah.Paling tidak kita bisa melihat seberapa besar keberhasilan dunia pendidikan di Kebumen. Faktor apa yang menjadikan Kebumen buruk di mata pendidikan untuk tahun ini.Apa karena faktor kurikulum yang semakin membingungkan bahkan sampai-sampai sang gurupun tidak mampu dan maksimal dalam memahami kurikulum tersebut, atau faktor murid sendiri yang mempunyai banyak problem dan kendala yang diantaranya biaya sekolah yang semakin tidak jelas? Dari output tersebut mengakibatkan kaum miskin terncam tidak sekolah (khusus di sekolah yang notabenenya favorit).Inilah yang menjadikan kesenjangan sosial pendidikan yang sebenarnya melanggar hak asasi khususnya hak di dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Akhir dari pertemuan diskusi pendidikan pertama dilanjutkan diskusi kedua yang dilaksanakan Jum’at, 22 Juni 2007 pukul 13.30 wib di Gedung AMIK PGRI Jl.Kaswari Kebumen. Dari Ection plan identifikasi permasalahan pendidikan dan elemen atau aktor yang nantinya bisa diajak untuk bergerak dalam artian bergerak peduli terhadap nasib dunia pendidikan yang ada di Kebumen. Agus dari Ki Hajar Dewantoro mengatakan, ”kita harus menekankan pada pola sistemnya, contoh konkrit yang bisa kita lihat bahwa sebenarnya pembangunan fasilitas pagar SMUN 1 Kebumen tidak perlu lagi toh tidak ada yang memprotes pagar tersebut harus bagus.Uang pembangunan tersebut kan bisa dialokasikan ke sarana dan prasarana yang lain khususnya untuk bantuan siswa berprestasi tetapi kurang mampu, akan lebih bermanfaat untuk kemajuan pendidikan.” Memang tidak gampang seperti membalikkan telapak tangan terus akhirnya berubahlah sistem, tetapi harus melalui berbagai proses panjang.Tidak semudah itu juga sistem bisa kita dobrak dengan pola berhitung ini dikalikan ini ketemunya ini terus langsung kita menghadap dinas terkait dan akhirnya selesai.Bukan itu yang kita harapkan.Akan tetapi agar supaya bagaimana menindak lanjuti sistem di dalam pendidikan itu benar-benar bisa kita rubah akan tetapi tidak keluar dari jalurnya dan harus berpihak kepada masyarakat khususnya rakyat yang kurang mampu.
Pertemuan kedua tersebut menyepakati bahwa pemerintah harus berani menggratiskan biaya pendaftaran bagi sekolah negeri. Untuk itu forum menghendaki agar pasal 13 MoU antara P dan K dan Departemen Agama tentang PSB diganti dengan menggratiskan biaya pendaftaran. Selain itu pemerintah harus meminimkan pungutan paska pendaftaran siswa baru baik berupa pengadaan seragam, sumbangan dana pengembangan, dengan memperhatikan aspek kemampuan masyarakat miskin. Sekolah yang bebas pungutan untuk penerimaan siswa baru (PSB) maupun pasca PSB tersebut merupakan pintu masuk menghasilkan out put siswa yang berkualitas dan berprestasi.
Tuesday, May 1, 2007
Arif Irwanto : Kesulitan Awal Kami Adalah Imput Stake Holder di Tingkatan Desa
Selasa, 1 Mei 1007, bertempat diruang rapat Bappeda Kebumen, perwakilan Gampil yang didampingi tim dari IRE
Agenda pertemuan diawali dengan kata pengantar sekaligus sambutan dari pihak Bappeda yang disampaikan Arif Irwanto. Dalam sambutan awalnya beliau menyampaikan terima kasih dan permohonan maaf kepada tim dari IRE dan gampil karena waktu yang sedianya, sesuai dengan permohonan, tanggal 2 Mei diajukan menjadi tanggal 1 Mei. Arif khawatir mengganggu agenda-agenda IRE dan gampil yang mungkin sudah tertata dengan baik sebelumnya. Ia juga menyampaikan pengajuan waktu pertemuan tersebut dikarenakan pada tanggal 2 Mei nanti tim Bappeda Kebumen akan bertolak ke
Sebelum menuju poin pembicaraan Arif Irwanto, kepala Bappeda yang baru 2 bulan bekerja di lembaga tersebut, memperkenalkan beberapa jajaran pejabat Bappeda yang saat itu berkenan hadir diataranya; Arif Irwanto (Ka. Bappeda),
Terkait dengan dengan wacana perencanan di tingkatan desa Arif mengakui persoalan yang dihadapinya yaitu pada aspek pemilihan imput pemilihan aspek stake holder ditingkat desa. Karenanya dirinya mengaharapkan partipasi teman-teman kelompk masyarakat sipil dalam mendorong partisipasi warga desa dalam proses perencanaan paling awal tersebut. selain itu Bappeda juga mengalami kendala kerja berupa kegiatan politik yang dalam waktu dekat akan segera terjadi. Agenda-agenda tersebut yakni pemilihan kepala desa di 317 desa mulai bulan Mei ini, kemudian Pilgub, Pileg, dan Pilpres. Agenda-agenda politik tersebut diakui Arif sangat mengganggu kerja-kerja perencanaan. Dengan mencotohkan kondisi dinamika politik di desa pasca pilkades, dikhawatirkan terjadi missing link tata kelola pemerintahannya. Selain itu pula pemerintahan yang baru nanti harus bekerja keras terkait dengan situasi politik mendatang dan kebijakan Alokasi Dana Desa yang telah dicantumkan dalam APBD 2007 lalu.
Selain konteks persoalan diatas, desa juga ditempatkan sebagai pintu masuk yang sangat krusial dalam tahapan perencanaan. Sebagaimana disampaikan kepala Bappeda yang beru tersebut, bahwa kesulitan saat ini yang dihadapi Bappeda adalah input aspek stake holder. Pengalaman di musrenbangcam, forum SKPD dan musrenbangkab misalnya banyak dihadiri oleh delegasi yang kurang vokal menyuarakan usulan. Ia mengkhawatirkan masyarakat sendiri asal tunjuk delegasi. Baginya ia sangat senang apabila para peserta yang hadir di setiap tahapan perencanaan khususnya dari desa adalah warga yang aktif dan vokal. Karena dalam kondisi demikian dibutuhkan peran masyarakat sipil yang mau mendorong warga desa cerdas memperjuangkan haknya.
Selain kesulitan diatas, Permendagri No. 13 tahun 2006 menurutnya juga menjadi kendala karena sangat ketat dan tidak ada upaya pembinaan dan bimbingan dari pemerintah pusat tentang implementasi aturan hukum tersebut. Akibatnya tidak sedikit aparat pemerintah yang takut kalau-kalau melanggar aturan tersebut. Bukti ini nampak misalnya rasa lega manakala seorang penjabat pensiun. Terkait dengan persoalan yang dihadapi Bappeda tersebut terjawab dsari sambutan Sutoro Eko yang mengambil pengalaman kegiatannya di Wonosobo yang pada saat itu bertemu dengan temannya dari UI Jakarta. Disampaikannya, bahwa temannya yang juga sebagai salah satu inisiator dan ikut membidani lahirnya Permendagri No. 13 tahun 2006 tersebut, sangat kecewa. Karena Permendagri no. 13 disosialisasikan secara salah oleh pihak pusat. Akibatnya sampai ke daerah implementasinya pun terjadi banyak kesalahan. Selain keduanya sepakat perlu adanya peninjauan ulang terhadap Permendagri tersebut, di lain pihak Arif mengharapkan adanya kegiatanpembinaan dari pusat tentang pengejewantahan Permendagri no. 13. karenanya inisiatif tersebut akan ditindaklanjutinya dengan menemui KPD dan Menpan pada saat kunjungannanti ke Jakarta.
Sutoro Eko juga menyampaikan dalam konteks program PBET ini posisi IRE sebenarnya seperti semboyan Nokia ”conecting people”. Yakni menfasilitasi berdayanya masyarakat sipil untuk secara aktif terlibat dalam siklus perencanaan dan penganggaran. Dijelaskan lebih lanjut oleh Sunaji Zamroni, Project Manager PBET, dalam skema pemberdayaan masyarakat sipil peduli perencanaan dan penganggaran pembangunan yang partisipatif, IRE telah menfasilitasi lahirnya Gabungan Masyarakat Sipil atau yang disingkat Gampil. Dijelaskan pula kalau Gampil juga telah melakukan agenda-agenda penguatan parisipsi masyarakat melalui pelatihan perencanaan partisipatif, lokakarya partisipasi, diskusi publik dan penyebar luasan wacana PBET melalui media masa. Untuk mendukung tujuan berdirinya Gampil yang sebenarnya juga membantu pemerintah, Sunanji mengaharpkan kerjasama pemerintah kebumen untuk terbuka. Menurutnya, dalam kegiatannya sangat membutuhkan dokumen-dokumen atau data-data kebijakan sehingga segala tindakan baik dalam bentuk analisa, kritik dan kontribusi Gampil pada pemerintah mempunyai landasan argumentasi yang kuat. ”Tidak WTS, waton suloyo”, usaha Sunaji meyakinkan.
Pada kesempatan tersebut juga disampaikan naskah akademik yang sederhana dari Gampil pada Bappeda. Harapannya naskah akademik tersebut memberi kontribusi positif bagi terselenggaranya tata kelola perencanaan dan penganggaran partisipatif yang lebih baik. Dalam naskah tersebut menyoroti beberapa kinerja pemerintah yang belum maksimal khususnya dalam penyelenggaraan tahapan-tahapan perencanaan dan penganggaran beberapa bulan terakhir. Dalam rekomendasinya GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil) mengajukan rekomendasi pada Bappeda diantaranya perlunya pembuatan perda perencanaan dan penganggaran, pembentukan komisi partisipasi oleh masyarakat sipil, pemerintah perlu merujuk pada SRTPK dalam penyusunan agenda kegiatan pembangunan dan pemaduserasian program antar dinas.
Monday, April 30, 2007
NASKAH AKADEMIK
Membangun Sistem Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif
Di Kabupaten Kebumen
Oleh : GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil))
Jl. Pahlawan No. 72 Kebumen
Email : Gampil@gmail.com, blog: http://gampil.blogspot.com
Pendahuluan
Terhitung semenjak bulan Desember 2006 sampai dengan Maret 2007 kabupaen Kebumen telah sedang melakukan kegiatan perencanaan dan penganganggaran untuk tahun anggaran 2008. Tahap perencanaan untuk APBD 2008 dimulai dengan penyelenggaraan musrenbangcam dari 16 hingga 28 Desember 2006. Setelah itu tahapan selanjutnya dilanjutkna ke forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), 12 s/d 19 Februari 2007. Pada tanggal 13-14 Maret diselengarakan forum Musyawarah Perencanaan Kabupaten atau yang biasa disingkat Musrenbangkab.
Rangkaian siklus perencanaan bisa dikatakan sebagai bentuk konsistensi pemerintah kabupaten Kebumen dalam menjalan roda pembangunan yang berbasis pada analisa kebutuhan masyarakatnya. Dengan menerapkan tahap perencanaan dari bawah berarti pemerintah kabupaten menerpkan konsep perencanaan pembangunan buttom up. Dimana penjaringan aspirasi atau usulan masyarakat dimulai dari level bawah. Dengan demikian, siklus perencaan dan penggaran yang dilakukan pemerintah kabupaten Kebumen telah membuka kran partisipasi masyarakat. Bahkan mungkin bisa dikatakan disini pemkab Kebumen telah melakukan tindakan jemput bola atas daftar kebutuhan warganya mulai dari desa.
Pada era desentralisasi pemerintahan sekarang ini kehidupan riil masyarakat beserta pernak pernik kehidupannya harus menjadi acuan arah pembangunan. Pengalaman era pemerintahan orde baru dengan sistem pemerintahan oligarkis dan sentralistik, mulai dari gagasan pembangunan berupa visi dan misi pembangunan sampai struktur program kegiatannya didisain oleh sekelompok aktor pemerintah dan parlemen. Akibatnya penerapan konsep pembangunannya mengabaikan peran serta masyarakat sebagai subyek pembangunan. Sebaliknya rakyat menjadi obyek pembangunan yang tidak pernah menerima manfaat pembangunan. Dampak lain skema prencanaan dan pengangguran pada era orde baru yaitu mengalirnya dana-dana pembangunan ke kantong-kantong rezim penguasa. Padahal dana-dana pembangunan sebagaiaman yang terinci dalam APBD dan APBN semuanya mangalir dari kantong-kantong rakyat.
Sekali lagi pelaksanaan tahapan perencanaan diatas beberapa waktu lalu memberi harapan baru akan terlahirnya arah pembangunan kabupaten Kebumen yang benar-benar menyandarkan pada analisa kebutuhan warganya, utamanya kelompok miskin dan perempuan. Pemerintahan yang dinahkodai oleh Hj. Rustriningsih telah memberi warna baru bagi tercovernya kepentingn kelompok miskin dan perempuan dalam agenda pembanguna 2008. Pola perencanaan yang telah disentuhkan sampai pada arena terkecil yakni kecamatan sudah semestinya disambut dengan partisipasi yang intensif oleh masyarakat Kebumen. Secara intensif mengandung arti proses pengawalan yang berkelanjutan dari masyarakat sejak proses awal perencanaan dan penganggarannya sampai monitoring pada tahap implementasi kebijakannya.
Kelahiran kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam wadah yang bernama Gampil merupakan bagian dari komitmen masyarakat sipil untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan Kebumen agar lebih baik. Komunitas masyarakat sipil yang saat ini beranggotakan hampir 25 lembaga sosial telah membangun komitmen bersama untuk mendorong terciptanya tatanan masyarakat sipil yang peduli dengan perjalanan pemerintahan kabupatennya. Khususnya di bidang perencanaan dan penganggaran yang partisipatif. Dengan menfokuskan pada penguatan masyarakat sipil agar berdaya dalam membangun dialog dengan pemerintah diharapkan akan terlahir masyarakat yang mampu menyampaikan aspirasi, mengawal dan memonitoring implementasi usulannya yang disahkan pemerintah sebagaimana termaktub dalam perda APBD.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Gampil telah melakukan agenda-agenda pemberdayan masyarakat sipil agar berdaya dalam konteks perjuangan partisipasinya. Gampil menyadari bahwa ketidakberdayaan masyarakat dalam menyampaikan, mengawal, memonitor dan mengevaluasi kinerja pemerintah dalam mengelola aspirasi akar rumput perlu dijembatani. Posisi Gampil sebagai jembatan disini dikandung maksud bahwa masyarakat harus berdaya memperjuangkan haknya sebagai warga negara dengan potensi mereka sendiri. Nah, disinilah Gampil mengambil peran fasilitasi dalam mendorong partisipasi krits masyarakat tersebut dalam siklus perencanaan dan penggaran kabupaten. Beberapa langkah kegiatan yang telah dilakukan yaitu FGD beserta masyarakat desa dari berbagai elemen didalamnya, dalam rangka mendorong mereka agar secara maksimal memperjuangkan haknya melalui musbangdes sampai tahap akhir yakni sampai usulan mereka benar-benar tercover dalam APBD. Dalam konteks ini Gampil memperkuat posisi masyarakat sipil dalam siklus perencanaan dan penganggaran dengan melibatkan diri dalam setiap tahapan. Misalnya, pada momentum musrenbangcam untuk tahun anggaran 2008 lalu terlibat di 10 kecamatan. Bentuk penguatan lain dalam rangka memberdayakan partisipasi masyarakat yaitu dengan membekali masyarakat dipil dengan pengetahuan mengenai perencanaan dan penganggaran partisipatif melalui kegiatan pelatihan, work shop atau pun yang bersifat diskusi publik.
Langkah-langkah yang ditempuh tersebut merupakan bagian dari komitmen Gampil dalam membangun demokrasi di arasy masyarakat bawah. Berlakunya sistem desentralistik mendambakan akan tumbuhnya partisipasi kritis dari masyarakat sipil. Saat daya topang masyarakat atas negara kuat dan dibarengi dengan pengelolaan sistem pemerintahan yang baik, maka kesejahteraan rakyat diharapkan juga terlahir disini. Akan tetapi sebaliknya, jika negara malah tidak merespon apa yang dibutuhkan warganya maka dapat dipastikan rakyat akan semakin miskin karena potensi besar negara bangsanya banyak tersedot ke atas. Pengalaman hidup dalam era orde baru mungkin bisa dijadikan contohnya disini.
Maka dari itu, semangat Gampil dalam membangun kekuatan partisipasi masyarakat tidak lain untuk mendorong terciptanya regulasi perencanaan dan anggaran pembangunan di kabupaten Kebumen peduli dengan nasib rakyat miskin. Semangat tersebut tidak semata-mata ditujukan pada semangat regulasinya itu sendiri. Melainkan juga bagaimana pengarusutamaan pro poor planning and budgetting juga menjadi bagiannya. Artinya proses perencanaan dan penganggaran pembangunan tanpa kehadiran kepekaan (sensitivity) dan kepedulian (awareness) para pembuat kebijakan yang tumbuh secara sadar dari dalam dirinya mustahil menghasilkan kebijakan APBD yang pro poor dan adil gender. Akhirnya kami berharap perjuangan kami akan mendapatkan respon positif dari para pengampu kebijakan. Sehingga masyarakat akan segera menerima kinerja baik dari pemerintah dalam melayani agenda-agenda rakyat menuju kesejahteraan hidup sebagai warga negara Indonesia.
Pengalaman Pelibatan
Jadi kami dalam membuat materi musrenbang itu diambilkan dari dokumen RPJMDes dan juga dari RPTK tahun sebelumnya yang belum teralisasi. Bahkan sejak tahun 98, banyak sekali usulan yang masuk usulan tahun 2007 banyak sekali yang belum terealisasi. Jadi produk RPTK kalau kita lihat dari tahun 2000 ke sini banyak sekali usulan yang sama.
Seorang aparat kecamatan Pejagoan
Mencermati proses dan perjalanan siklus perencanaan dan penganggaran di kabupaten kebumen untuk tahun anggaran 2008 khususnya ada beberapa wacana yang perlu didiskusikan. Harapannya dengan diskusi dalam relasi state dan civil society yang terus menerus antara masyarakat sipil dengan pemerintah akan menghasilkan bangunan partispasi yang dialogis dan seimbang. Siklus perencanaan dan penggaran yang saat ini masih berjalan merupakan potret bangunan dialogis tersebut. Sebagai konsep ideal sistem perencanaan dan penganggaran yang digunakan pemerintah kabupaten Kebumen tentu diharapkan akan melahirkan kebijakan pembangunan yang partisipatif. Namun relasi yang tidak seimbang antara kepentingan negara dengan masyarakat sipil berakibat pada tidak sempurnanya pelaksanaan tahapan perencanaan dan penganggaran yang hingga kini sedang menuju pembuatan dokumen RKPD. Dengan kata lain proses perencanaan dan penggaran mulai dari musrenbangcam, forum SKPD dan musrenbangkab masih jauh dari standar partisipatif.
Kenapa siklus perencanaan tersebut masih belum partisipatif dan menghasilkan kebijakan program dan anggaran pembangunan. Hasil studi Gampil pada proses dan pelaksanaan tahapan perencanaan kemarin menunjukan potret sebagai berikut;
1. Perjalanan tahapan perencanaan dan penganggaran untuk APBD 2008 tidak diawali tahapan musbangdes. Sebenarnya, sebagai dasar perencanaan musbangdes menempati posisi krusial. Karena di level inilah sebenarnya usulan-usulan masyarakat yang murni muncul dan terucap dari subyek pembangunan itu sendiri. Beberapa informasi mengatakan bahwa nihilnya tahapan musbangdes pada proses perencanaan tahun anggaran 2008 ini karena pihak pemerintah kabupaten memandang cukup kalau musrenbangcam 2007 menggunakan RPJMDes dan RPTDes sebagai basis materinya. Padahal musbangdes merupakan instrumen yang sangat penting bagi masyarakat desa, selain sebagai media pembelajaran politik kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit desa yang terkesan tidak siap terlibat secara aktif di musrenbangcam. Sebagaimana terungkap dalam beberapa pertemuan Gampil, di forum evaluasi SKPD dan musrenbangkab, banyak kecamatan mengeluhkan usulan dari desa yang keluar dari koridor RPJMDes dan RPTDes. Meski demikian pihak kecamatan menghimpun setiap usulan dari desa, sebagaimana dirangkum dalam RPTK yang dibawa ke tahap forum SKPD. Sayangnya, RPTK hanya menampung semua usulan dari desa namun tidak dibarengi komitmen kuat pihak kecamatan untuk memperjuangkannya hingga lahir dalam renja SKPD.
2. Sosialisasi yang terkait dengan jadwal, petunjuk pelaksanaan dan teknis kegiatan musrenbangcam berikut tahap berikutnya kami nilai masih lemah. Rentan waktu yang sempit antara penyampaian undangan dan waktu pelaksanaan tidak memberi ruang yang cukup bagi desa untuk menyiapkan materi-materi usulan yang akan dibawa ke musrenbangcam. Yang terjadi kemudian draft materi musrenbangcam dibuat oleh pihak pemerintah kecamatan. Dampaknya, pembelajaran perencanaan pembangunan di tingkat desa tidak berjalan. Karena dengan demikian kendali perencanaan tetap dipegang oleh lembaga supra desa. Selain itu sosialisasi terkait dengan hal yang sifatnya substansi juga belum terpahamkan sampai masyarakat bawah. Sebagaimana disampaikan salah seorang aktivis Gampil dari ormas Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dalam sebuah forum evaluasi forum SKPD menyampaikan statemen sebagai berikut ”Untuk istilah kegiatan musbangdus, musrenbangcam kurang tersosialisasi ke masyarakat. Kalau kita lihat yang mengikuti ya itu-itu saja, yang paham ya itu-itu saja. Jadi masyarakat kurang memahami bahwasannya ada forum untuk mengemukakan apa kebutuhan mereka, apa persoalan mereka. Terus yang kedua juga mekanismenya. Kalau ada seseorang katakanlah, anggota masyarakat yang mengikuti ditingkatan dusun ia kurang paham kadang-kadang ada mekanisme berjenjang ke atas. Setelah ini di usulan mereka akan dibawa ke tingkat desa, kecamatan, kabupaten atau bahkan ke tingkat propinsi dan nasional. Yang mereka pahami ada undangan dari RT atau dusun, mereka diminta untuk mengusulkan apa kegiatan yang dilakukan. Hanya itu saja. Mereka tidak mengetahui mekanisme dan tidak ada sosialisasi, akhirnya mereka tidak mau mengawal lagi”.
3. Alur dan proses pada setiap tahapan perencanaan masih memperlihatkan mekanisme yang belum partisipatif. Bahkan dalam level tertentu bisa dikatakan masih teknokratis dan formalistik. Pelaksanaan forum SKPD yang rata-rata hanya memakan waktu satu sampai dua jam membuat kegiatan tersebut terkesan tidak maksimal. Bahkan, ada SKPD yang hanya memanfaatkan alokasi waktu setengah jam tanpa penyebarluasan materi kepada peserta. Di forum tersebut tidak terjadi pembahasan yang mendalam atas rancangan program dan anggaran kegiatan yang tercantum dalam draft renja SKPD. Keterlambatan penyampaian materi pada peserta SKPD menjadi salah satu faktor mengapa perdebatan substansi tersebut tidak berjalan maksimal.
4. Dalam sebuah forum evaluasi musrenbangkab, seorang aparat dari salah satu dinas pemerintah menyampaikan demikian ”Ada kritik juga untuk pelaksanaan forum SKPD sekarang. Kenapa kemudian forum SKPD yang menyelenggarakan itu Bappeda? Tapi kalau tahun kemarin oleh SKPD dan sudah berjalan. Kita kembali ke aturan saja bahwa aturan penyelenggaraan forum SKPD yang namanya forum SKPD langsung dihandle oleh SKPD atau satker berikut beserta seluruh elemen terkait dan dinas sektor stake holder yang lain sehingga kajiannya lebih mendalam. SKPD yang kemarin karena massal, akhirnya kita hanya apa ya disitu tidak terjadi kristalisasi. Sementara yang ada hanya semacam saya usul seperti ini. Kalau di forum SKPD mungkin 2005 untuk membahas 2006, itu sudah menyelenggarakan sendiri-sendiri. Dan itu kedalamannya bisa sesuai dengan tujuan awal yaitu singkronisasi. Itu mengenai pola perencanaan”. Kritik yang disampaikan aparat pemerintah tersebut satu sisi menunjukan kelemahan pelaksanaan forum SKPD lalu. Secara komparatif dikatakan diatas bahwa pelaksanaan forum SKPD dibawah koordinasi Bappeda tidak menghasilkan proses yang maksimal. Di sisi lain menawarkan untuk kembali kepada pola pelaksanaan yang lama dimana forum SKPD langsung ditangani di masing-masing SKPD dengan melibatkan stake holder-stake holder yang memiliki bidang kerja sesuai dengan fungsi SKPD bersangkutan.
Sejauh pengamatan gampil, khususnya di forum SKPD pelibatan stake holder mengesankan penempatan yang tumpang tindih. Tidak sedikit SKPD melibatkan stake holder yang tidak memiliki kapasitas bidang kerja yang nyambung dengan SKPD terkait. Secara teknis nampak sekali, karena dalam satu hari dan ruang yang sama, sama sekali tidak terjadi pergantian peserta forum SKPD. Padahal pada saat itu terjadi pergantian pembahasan SKPD yang sudah barang tentu berbeda bidang dan fungsi kerjanya.
5. Pelibatan elemen masyarakat dalam proses perencanaan masih terbatas. Sebagian besar peserta berangkat dari lembaga-lembaga korporatis yakni organisasi atau lembaga pemerintah. Dipihak lain keterlibatan organisasi masyarakat, LSM dan lembaga profesi juga masih didominasi oleh lembaga-lembaga yang secara formal telah terdaftar dalam buku pemerintah (dinas Kebanglinmas) dan mempunyai akta notaris pendirian. Padahal pelibatan komunitas-komunitas warga seperti kelompok tani, komunitas tukang becak, dan komunitas-komunitas dampingan LSM akan memberi kontribusi besar pada daftar perencanaan pembangunan sendiri. Dan demikian, disinilah sesungguhnya konteks perjuangan mandiri masyarakat sipil.
Disamping itu Gampil juga masih melihat lembaga-lembaga peserta forum perencanaan khususnya di musrenbang kabupaten banyak yang tidak hadir alias menjadi peserta forum-forum perencanaan sebelumnya. Tentu saja discontinuity peserta forum perencanaan dan penganggaran mengakibatkan adanya missing link dalam perjalanan siklusnya. Lembaga-lembaga peserta musrenbang kabupaten yang tdiak dilibatkan dalam tahap perencanaan sebelumnya tentu banyak yang hanya sekedar hadir, memenuhi quorum undangan, tanpa banyak memberikan insight (wawasan), karena tidak mengikutinya dari awal perencanaan. Akhirnya, di musrenbang kabupaten lalu, kehadiran peserta dengan jumlah yang lebih banyak dibanding dengan forum-forum perencanaan sebelumnya mengesankan menjadi alat legitimasi musrenbangkab.
6. Hasil studi Bappeda Kebumen terhadap RPTK 2007 (hasil musrenbangcam) menunjukan derajat ketimpangan prioritas usulan dari masyarakat. Lihat table;
| NO | BIDANG | KEGIATAN | ANGGARAN (Rp.) |
| 1. | EKONOMI | 480 | 38.023.187.000,- |
| 2. | SOSBUD | 1.674 | 131.361.328.767,- |
| 3. | PENGWIL | 968 | 198.434.509.030,- |
| JUMLAH | 3.122 | 367.819.024.797,- | |
Dengan melihat tabel diatas, nampak perbedaan yang cukup jauh atas usulan masyarakat di tiga sektor ekonomi, sosial dan budaya, dan pengembangan wilayah. Dari tabel tersebut terbaca cara pandang masyarakat dalam mengatasi persoalan yang dihadapi, dan membawanya ke meja perencanaan pembangunan pada pemerintah. 70% usulan masyarakat banyak ditujukan pada dinas-dinas pemerintah yang berkaitan dengan fungsi-fungsi sosial dan budaya seperti kesehatan, dan pendidikan. Sementara masalah sosial yang berkaitan dengan penguatan ekonomi masyarakat malah terhitung hanya 10%. Sisanya 20% pada urusan pembangunan infrastruktur dan pengembangan wilayah. Kalau dikupas lebih dalam, 3.122 usulan masyarakat di tiga sektor tersebut banyak terdapat usulan yang bersifat fisik. Dan dari 3.122 usulan tersebut kami yakin tidak semuanya tertampung dalam kebijakan perencanaan dan penganggaran pemerintah.
Jika prosentase usulan dari tahun ke tahun dalam skema perencanaan pembangunan tidak berubah, maka kami berkesimpulan tidak akan merubah prioritas pembangunan kabupaten kebumen. dengan demikian akan terjadi pengabaian prioritas pembangunan pada sektor lain. Simak pendapat salah seorang pegawai dinas perindagkop berikut; ”Di musrenbang kabupaten, kita sudah mengajukan. Karena ada pagu kami disuruh memangkas usulan anggaran dari kami. Karena pertimbangannya begitu kami jadi kebingungan. Disana sudah ada plafonnya, otomatis mau tidak mau kita harus mengurangi anggaran yang 3,3 milyar. Tetapi disini bunyinya tidak dikurangi hanya dimasukan dalam kotak kecil. Kotak kecil itu dimana nanti bila ada kesempatan misalnya ada anggaran perubahan bisa diusulkan lagi. Namun yang inikemarin dikurangi 145 juta. Padahal kita sudah dari awal, kita sudah memilih prioritas program tapi harus terpangkas karena pengurangan anggaran tersebut”.
Dengan menyimak sekilas pendapat tersebut, sesungguhnya terdapat semangat dari dinas perindagkop untuk mendongkrak program pemberdayaan ekonomi yang diembannya ke arah yang lebih baik dengan kucuran dana yang tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang masih berkisar 2 milyaran rupiah. Disamping karena skema prioritas pembangunan pemerintah kabupaten Kebumen yang menitik beratkan pada tiga sektor utama yaitu Pendidikan, Kesehatan dan infrastruktur, prosentase usulan masyarakat yang sangat kecil disektor ekonomi juga turut memperlemah penguatan pembangunan disektor lainnya. Padahal secara jamak persoalan di sektor ekonomi merupakan titik krusial yang saat ini dihadapi masyarakat. Namun karena dukungan usulan di sektor tersebut sangat kecil, akibatnya orientasi pemerintah dalam mengembangkan dan memperkuat sektor ekonomi pun kecil. Kondisi tersebut kian disayangkan manakala asupan dana untuk dinas perindagkop juga sangat terbatas. Sudah terbatas dipotong pula.
7. Pemerintah kabupaten Kebumen belum secara berani memajang daftar usulan dari bawah yang lulus pada tahapan SKPD, Musrenbangkab dan RKPD. Pada saat perencanaan masih menginjakan kakinya di musrenbang kecamatan (dalam RPTK), masih terlihat jelas sikap akomodatif pemerintah. Karena di dokumen tersebut bisa dikatakan 100% usulan dari bawah (desa) tercover didalamnya. Sayangnya sikap akomodatif pemerintah kecamatan ini didasari oleh satu kondisi ketertekanan. Pemerintah kecamatan takut kalau masyarakat desa melakukan demo, karena mereka berharap besar usulan mereka tercover semuanya. Hal tersebut terungkap dari pernyataan seorang aparat pemerintah kecamatan Gombong dalam forum evaluasi SKPD Februari lalu.
Kemunculan usulan masyarakat di RPTK bisa kita nilai sebagai kepedulian pemerintahpada warganya. Namun sayangnya setelah masuk pada tahapan SKPD dan Musrenbangkab, banyak usulan-usulan masyarakat yang terpangkas oleh program-program baru yang asal-usulnya tidak melalui mekanisme perencanaan formal prosedural. Di forum SKPD sendiri banyak pihak kecamatan yang tidak bisa memastikan tercover tidaknya usulan hasil musrenbangcam dalam renja SKPD. Kita mungkin akan percaya dengan tesis tersebut dengan menyimak pendapat seorang pegawai kecamatan Klirong berikut; ”Memang untuk forum SKPD atau musrenbangkab diawali musbangdes. Memang di desa itu kemarin ada yang melakukan musbangdes ada yang tidak tapi di desa itu sudah memiliki dokumen. Namanya dokumen RPJMDes untuk 2006-2010. Sehingga banyak desa atau kami kecamatan, menyuplik dari usulan-usulan desa. Jadi jalan pintasnya demikian. Kalau keduanya, nanti di forum musrenbangcam nanti menambahlah dari masing-masing desa, yang tidak tercover bisa dimasukan ke musrenbangcam. Jadi sehingga kita untuk mengusulkan itu sebetulnya dulu kita sudah mengadakan forum musrenbang setiap tahun. Untuk kemarin untuk 2007, kemarin untuk 2008. tapi kita mengusulkan 2008 yang 2007 itu usulnya apa sih yang sudah tercover dari anggaran 2007 itu nggak tahu. Untuk mengusulkan anggaran 2008 kan dilihat dulu 2007, usulan itu sudah apa belum sih. Misalkan kita mengusulkan senderan irigasi diusulkan 2005 untuk 2007. tapi akan tidak diberi tahu sudah masuk apa belum. Sehingga kurang efektif. Tidak ada evaluasi. Sehingga ini masukkan buat Bappeda yang harus memberitahukan dan mengeluarkan petunjuk data kecamatan yang sudah terrealisasi dan yang belum. Sehingga kita tidak perlu mengsulkan lagi”.
Sekali lagi pendapat diatas juga memperlihatkan sisi kekacauan sistem perencanaan pembangunan. Nampak disini perilaku jalan pintas dalam memenuhi daftar usulan yang akan dibawa musrenbangcam, tanpa melalui mekanisme musbangdes dan tanpa mengacu pada RPJMDes dan RPTDes. Pendapat diatas juga cukup memberi tahu kita banyaknya usulan-usulan dari bawah yang mental meski berulang kali diusulkan dari tahun ketahun melalui mekanisme perencanaan yang formal prosedural tersebut. Hal ini bersebab belum adanya sikap keterbukaan dari pemerintah kabupaten pada pemerintah dibawahnya atas daftar usulan yang masuk dalam kebijakan rencana dan belanja pembangunan dari renja SKPD, maupun di musrenbangkab.
8. Forum SKPD dan musrenbangkab belum berfungsi secara maksimal sebagai mekanisme perencanaan yang mampu menferifikasi dan mengesahkan usulan-usulan yang logis dengan prioritas agenda pembangunan. Gampil menilai pelaksanaan kedua mekanisme perencanaan tersebut masih sebatas presentasi ke presentasi. Dari tanya jawab ke tanya jawab. Artinya forum sama sekali tidak berhasil menyepakati atau menyaring usulan-usulan program kegiatan. Secara diplomatis forum dikuasai pihak dinas-dinas tertentu sebagai pemegang kendali projek pembangunan. Misalnya, sebagai nara sumber masyarakat tidak mendapat kesempatan menduduki posisi tersebut. Penyebab lain yang memungkinkan tersumbatnya saluran aspirasi masyarakat yang mampu meloloskan usulan dari bawah yaitu masih ada indikasi penguasaan pos-pos kegiatan oleh aktor-aktor di eksekutif maupun legislatif. Perilaku aneksasi program pembangunan tersebut mengakibatkan prosentase program kegiatan yang bisa dinikmati langsung oleh masyarakat sangat kecil.
9. Paduserasi usulan program antar dinas juga kami temukan masih timpang. Misalnya, dalam draft materi presentasi dalam SKPD (renja SKPD) dari dinas pertanian terdapat usulan program bernama P4K. Kegiatan Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil dalam renja SKPD dianggarkan Rp. 2.000.000. Sebagaimana disampaikan kadinas pertanian, program tersebut berupa bantuan untuk idnustri kecil berbasis hasil pertanian yang dulunya bekerja sama dengan BRI. Namun setelah BRI tidak lagi mengambil peran dalam program tersebut, program tersebut tetap diagendakan. Menanggapi penjelasan kadinas Pertanian, peserta mengajukan argumentasi bahwa secara fungsional maka pemberian kredit sebagai modal usaha masyarakat kontra produktif dengan tupoksi dinas pertanian. Maka peserta menyarankan untuk alokasi dana tersebut ke dalam dua alternatif. Pertama, dialokasikan untuk program kegiatan pengembangan sistem tunda jual yang menurut peserta sangat membutuhkan kucuran dana diatas 1 milyar. Menurut peserta program kegiatan tunda jual ini akan mencapai target maksimal dengan alokasi anggaran 5 milyar. Kedua, dana tersebut dialihkan ke dinas perindagkop, karena secara teknis kegiatannya adalah tupoksi dinas tersebut. Peserta juga berpendapat bahwa usaha produksi hasil pertanian menjadi komoditas ekonomi bukan tugas dinas pertanian. Melihat perdebatan tersebut, diakhir sesi pemaparan dinas pertanian pihak Bappeda menyampaikan tidak ada perubahan pada dua program tersebut (P4K dan sistem tunda jual). Hal tersebut terjadi mungkin karena masih adanya ego sektoral dan belum terpahamkannya tupoksi masing-masing dinas. Sehingga masih kita temukan program-program pembangunan yang tidak pada tempatnya.
Rekomendasi
Memang kami akui bahwa pelaksanaan proses perencanaan dan penggaran pembangunan oleh pemerintah kabpaten Kebumen merupakah langkah baik dalam upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis. Meski masih sama-sama kita temukan kekurangan dan keberhasilan yang mengemuka dalam pelaksanaan forum musrenbangcam sampai musrenbangkab lalu, disini kami mencoba merekomendasikan beberapa perspektif yang mungkin bermanfaat bagi kesempurnaan siklus perencanaan dan penggaran partisipatif kabupeten Kebumen ke depan.
Pertama, Pemerintah perlu membuat payung regulasi berupa perda sebagai aturan hukum yang kuat tentang mekanisme perencanaan dan penganggaran pembangunan termasuk kalender pelakanaanya. Perwujudan Perda tersebut merupakan implemntasi dari Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan nasional dan juga perda partisipasi yang telah dibuat pemerintah kabupaten Kebumen.
Kedua, perlu segera dibentuk komisi partisipasi. Komisi ini diandaikan akan secara aktif mendorong terciptanya peran serta masyarakat dalam siklus perencanaan dan penganggaran pembangunan serta mengawal, memonitor dan mengevaluasi perjalanan siklus tersebut. Sehingga diharapkan menghasilkan agenda-agenda pembangunan yang terbangun diatas sistem perencanaan dan penganggaran yang partisipatif.
Ketiga, pihak eksekutif harus melakukan langkah untuk memberitahukan kepada dinas-dinas SKPD atau pihak kecamatan berikut pemerintah desa tentang pagu indikatif anggaran pembangunan, kami pandang sebagai upaya membangun keterbukaan (transparansi) serta membangun bentuk partisipasi masyarakat yang didasari pada pertimbangan logis. Selama ini paradigma yang berkembang di masyarakat adalah ”wong njaluk ya sing akeh, diwei akeh apa setitik kan terserah sing ngeweih”. Cara pandang masyarakat bukan mutlak kekeliruan masyarakat dalam menyampaikan kisaran anggaran dari usulannya. Akan tetapi karena sikap pemerintah yang belum secara terbuka pada masyarakat tentang kisaran pagu anggaran yang akan digelontorkan untuk membiayai pembangunan bagi masyarakat. Hal ini juga menyulitkan pihak-pihak terkait dalam menyusun struktur prioritas pembangunan.
Ketiga, pemerintah perlu membuatkan forum khusus pasca musrenbangcam dan pasca forum SKPD dengan melibatkan elemen-elemen masyarakat yang mempunyai kompetensi sesuai dengan fungsi kerja SKPD. Forum ini sangat perlu sebagai tahapan perencanaa untuk membangun konsolidasi dan kesepahaman antar pemerintah kecamatan dan antar dinas sektoral. Dengan langkah tersebut diharapkan akan menghasilkan program-program pembangunan yang padu dan serasi antar dinas-dinas terkait. Dan meminimalisir ego sektoral yang acap kali mewarnai perdebatan proses perencanaan dan penggaran. Forum ini juga mengandaikan ada pendiskusian secara tajam dan kritis atas rencana program pembangunan. Sehingga program pembangunanya akan sejalan dengan visi misi kabupaten.
Keempat, Pemerintah harus bersedia mempublikasikan setiap rumusan hasil dari setiap tahapan perencanaan dan penganggaran kepada masyarakat. Hal ini penting dilakukan agar masyarakat tahu perkembangan selanjutnya atas usulan yang telah mereka sampaikan dalam forum-forum perencanaan yang telah diikutinya. Masyarakat juga lebih siap dalam mengawal usulannya dan akan tumbuh budaya dialogis antara masyarakat dengan pemerintah. Pengalaman selama ini, justru rumusan berupa hasil-hasil penyerapan aspirasi sejak dari tahapan terbawah malah hanya disampaikan secara vertikal kepada strutur pemerintah diatas. Secara umum masyarakat kehilangan usulannya setelah memasuki tahapan musrenbangcam dan SKPD. Begitu masuk di RKPD kian banyak usulan dari bawah yang hilang.
Kelima, Pelaksanaan forum SKPD lebih ideal dikembalikan pada masing-masing SKPD dengan melibatkan stake holder yang mempunyai korelasi dengan fungsi kerja dinas tertentu. Pun demikian dengan musrenbang kabupaten harus dibarengi dengan sikap konsisten semua pihak dalam merumuskan agenda pembangunan. Sehingga tidak lagi kita dapati forum-forum penajaman diluar kanal perencanaan formal prosedural yang hanya melibatkan kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang bisa merubah kesepakatan di forum musrenbangkab.
Keenam, antara pihak eksekutif dan legislatif harus berani membangun kesepakatan tentang prosentase usulan yang akan dicover dalam APBD. Kita tahu, minimal ada dua jalur penyerapan aspirasi / usulan rencana pembangunan. Pihak legislatif dengan melalui jalur jaring asmara, sedangkan pemerintah (eksekutif) melalui jalur perencanaan dan poenggaran sebagaimana diatur dalam permendagri no.13 tahun 2006.
Ketujuh, untuk menghasilkan prioritas pembangunan yang pro poor dalam arti untuk mengurangi derajat kemiskinan, pemerintah harus menyesuaikan agenda-agenda kegiatannya dengan dokumen SRTPK (Strategi Rencana dan Tindak Penanggulangan Kemiskinan). Karena kalau tidak ditinjau sisi kemanfaatan program pembangunan pada kaum miskin maka pembangunan hanya bermanfaat bagi kelompok mapan. Dalam kaitan ini juga perlu diperhatikan program pembangunan yang senditif gender. Terutama dampak dan kemanfaatannya bagi kelompok perempuan.
Saturday, April 28, 2007
Langkah Pengawalan Gampil Pasca Musrenbangkab Kebumen
Bertempat di ruang pertemuan sekretariat Gampil (27/4) selepas sholat Jum’at Gampil mendiskusikan bagaimana caranya mengawal perencanaan usai musrenbangkab. Strategi pengawalan yang sempat muncul pada forum evaluasi musrenbangkab minggu lalu dipertajam lagi. Hal ini dimaksudkan agar dalam mengawal usulan masyarakat miskin yang telah diperjuangkan pada level perencanaan lalu benar-benar tercover dalam RKPD.
Menurut sumber yang dapat dipercaya di pemkab dan DPRD, pembahasan RKPD akan selesai pada bulan Mei. Dengan demikian pembahasan KUAPBD 2008 akan dilaksanakan pada bulan Juni, kalau tidak mengalami kemoloran. Hal tersebut disampaikan Borni yang menjadi fasilitator pada pertemuan tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh Sholahudin yang mengatakan bahwa jeda waktu paska Musrenbangkab ini harus benar-benar dimanfaatkan Gampil untuk mengawal usulan-usulan yang diperjuangkan di musrenbangcam, forum SKPD dan Musrenbangkab. Karena kalau tidak, imbuhnya, jeda waktu tersebut dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk memasukan agendanya dalam RKPD. Sholahudin menandaskan bahwa kalau usulan sudah masuk di draft RKPD maka peluang untuk menjadi kebijakan pembangunan 2008 sudah mencapai derajat 70%. Dengan demikian sulit bagi Gampil untuk mendorong keberpihakan RKPD 2008 pada usulan masyarakat bawah.
Aris Panji, yang didaulat sebagai orang yang paling bijak dalam pemikiran atau etika politiknya oleh kawan-kawan Gampil, kepentingan masyarakat miskin yang telah diperjuangkan di forum-forum perencanaan pembangunan akan tergusur oleh aktor-aktor tertentu dengan memanfaatkan rentang waktu sekarang. Menurutnya, saat ini adalah waktu bagi mereka untuk saling melakukan negosiasi. Dengan wajah penuh keraguan, Aris melanjutkan argumentasinya, ”kalau masyarakat sipil luput mengawalnya, wah saya tidak bisa jamin kalau kepentingan masyarakat miskin terakomodir dalam, jangankan APBD 2008, di RKPD pun saya sangsi”.
Setelah perdebatan berlangsung cukup lama, diskusi mengalir pada wacana inti yakni menyusun strategi dan taktik pengawalan siklus perencanaan paska musrenbangkab. Junaidi yang datang terlambat menyarankan agar Gampil merumuskan targetnya. Menurutnya sebagai strategi pengawalan perlu diturunkan pada kegiatan-kegiatan yang lebih konkrit. Ia merekomendasikan perlua adanya aksi kunjungan ke pihak-pihak eksekutif baik Bappeda atau pun Dinas selaku pemangku tanggung jawab SKPD. Kunjungan ini sangat penting untuk melakukan lobi dengan pihak pemangku kebijakan yakni pemerintah. Dengan argumentasi yang takn jauh beda dengan Junaidi, Gunung –koordinator program FP2KK- memperkuat argentasinya dengan menyodorkan reasoning bahwa lobi sangat setrategis untuk ditempuh guna memastikan apakah usulan-usulan Gampil masuk atau tidak di RKPD 2008 ini. Sembari menyampaikan target tersebut, kegiatan ini juga menjadi media bagi Gampil untuk menyampaikan rekomendasi-rekomendasi konstruktif Gampil atas hasil evaluasi perjalanan siklus perencanaan di Kebumen. Harapannya, pemkab Kebumen bersedia melakukan kritik dan otokritik serta memperbaiki sistem perencanaan dan pengangguran ke depan.
Selanjutnya Junaidi menambah argumentasi Gunung. Menurutnya, Gampil juga perlu membangun kesepakatan dengan pihak-pihak dinas terkait untuk mengawal proses lanjutna jikalau usulan-usulan tersebut tercover atau tidak. Kalau yang jelas tercover harus kita kawal sampai benar-benar lahir di APBD 2008 nanti. Jika memungkinkan Gampil terlibat dalam mengawal implementasinya demi keberhasilan program tersebut. Untuk usulan yang tidak tercover nantinya, Junaidi mengajak Gampil untuk mencoba malakukan lobi sebaik mungkin hingga tercover di RKPD 2008.
Rahayu dalam kesempatan tersebut juga merekomendasikan usulan agar Gampil melakukan lobi juga kepada DPRD dan anggota-anggota dewan sesuai dengan daerah pemilihannya. Ini penting dilakukan, karena menurutnya, selain agar Gampil mendapat asupan energi dari lembaga legislatif juga mempresisikan usulan masyarakat yang terjaring melalui siklus perencanaan yang diselenggarakan pemerintah dan usulan yang terjairng pada kegiatan Jaring Asmara.
Diakhir pertemuan forum menyepakati agenda-agenda pengawalan dalam waktu terdekat sebagai berikut; 1) kunjungan ke Bappeda dan ke 5 SKPD yaitu Dinas Pertanian, Dinas Perindagkop, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kesehatan serta Dinas Kimprasda. Kegiatan visit to SKPD ini, Gampil akan mengutus delegasinya seperti Sholahudin dan Usman ke dinas Kimprasda, Anwarudin dan Rahayu ke dinas P dan K, Rahmanadi dan Amin Yasir di tambah perwakilan dari FKIK Kebumen ke dinas Perindagkop, Wibisono dan Gunung ke Dinas Pertanian, sedangkan Nunung dan Irma akan melobi Dinas Kesehatan. Waktu kunujungan ke Bappeda direncanakan pada Rabu, 2 Mei 2007. sedangkan kunjungan ke SKPD menyesuaikan hasil pertemuan dengan Bappeda. Mengingat 2 Mei adalah tangal pengajuan audiensi Gampil pada pihak Bappeda. 2) Udiensi dengan DPRD. Gampil mendambakan pihak DPR meloloskan permohonan ageda ini dengan mempertemukan semua Komisi dengan Gampil. 3) Setelah audiensi secara kelembagaan dengan DPRD, Gampil hendak menindaklanjutinya dengan kunjungan ke anggota-anggota dewan di beberapa daerah pemilihan. Beberapa anggota dewan yang direncanakan akan dikunjungi yaitu Slmaet Marsum, Sri Hari Susanti, Sri Hasmini ketiganya dari panggar legislatif. Selanjutnya Agus Suprapto dan Wahid Setiawan akan dikunjungi untuk menyampaikan isu-isu yang berkaitan dan ekonomi. Dian Lestari Subekti pertiwi dan Heru Budianto masing-masing akan dikunjungi untuk menyampaikan isu-isu yang terkait dengan kesehatan dan pendidikan.
Dalam pertemuan tersebut juga menghasilkan kesepakatan pelaksanaan pelatihan Budget Tarcking. Gampil merencanakan agenda tersebut akan dilaksanakan pada 18 – 19 Mei 2007 di Benteng Van Der Wick. Sebagai media pembekalan pengetahuan dan skil Gampil dalam memperkuat posisinya sebagai organ sosial yang memperjuangkan aspirasi akar rumput di bidang perencanaan dan anggaran, kelompok masyarakat sipil ini akan menindaklanjutinya dengan gerakan riil yaitu penelusuran pemakaian anggaran dari APBD 2006. (neo)
Wednesday, April 18, 2007
Musrenbang Kabupaten Kebumen Harus Diperbaiki
Rabu, 18 April lalu bertempat di gedung PKK Kebumen, Gampil melaksanakan evaluasi musrenbang kabupaten 13-14 Maret lalu. Tujuan pertemuan tersebut sebagaimana disampaikan Borni selaku fasilitator pertamuan tersebut tidak lain adalah untuk menemukan kekurangan dan kelebihan pelaksanaan forum musrenbangkab. Selian itu, tambahnya pertemuan tersebut juga menjadi media konsolidasi bersama antara masyarakat sipil yang diwakili Gampil dan warga dampingannya, DPRD dan pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki sistem perencanaan dan penganggaran yang saat ini dan kelak akan berjalan.
Menurut salah astu peserta dari dinas kesehatan, Cokro menyampaikan secara normatif sebenarnya musrenbangkab sudah berjalan ideal. Artinya aspiratif dengan menghadirkan berbagai stakeholder pemerintah yang ada. Sayangnya musrenbangkab belum mampu mengakomodir semua kepentingan masyarakat. Hal ini menurutnya dikarenakan rentan waktu pelaksanaan yang terbatasa. Baginya musrenbang tidak cukup dilaksanakan satu atau dua hari. Tapi, kalau musrenbangkab dilaksanakan lebih dari dua hari dibutuhkan konsistensi semua pihak agar forum tersebut maksimal. Karena di forum tersebut pembahasan program-programnya tentu harus mendalam, imbuhnya.
Berbeda dengan Cokro, Muhni peserta wakil dari dinas Perindagkop malah mengkritik forum musrenbangkab yang telah memangkas anggaran program di dinas tempatnya bekerja. Menurutnya kalau pemerintah mau mengakomodir seluruh usulan yang bersangkutan dengan ekonomi khususnya di dinas Perindagkop maka dibutuhkan anggaran kurang lebih 4 milyar. Sedangkan karena pagu anggaran indikatif untuk perindagkop sangat mimim yaitu hanya 3,3 milyar. Dari total anggaran yang diterima dinas tersebut, alokasinya adalah untuk belanjan langsung hanya 900 juta dan dibagi untuk tiga bidang kerja. Praktis masing-masing subdinas hanya mendapat kucuran dana untuk programnya sebesar 300 juta. Sedangkan hampir 500 juta dari total anggaran dialokasikan untuk untuk biaya perjalanan dinas dan pengadan kendaraan dinas. Sudah begiu kemarin Bappeda menginstruksikan untuk mengurangi anggarannya sebesar 145 juta karena kondisi ksuangan daerah yang mengalami defisit.
Anwar arafat dari LSM Tanah Air yang juga tergabung dengan GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil), mengemukakan kritiknya pada forum-forum perencanaan seperti SKPD. Pengalamannya mengatakan bahwa peserta-peserta forum SKPD dari masyarakat sipil yang disetujui untuk menjadi tim perumus dan delegasi forum dimusrenbang kabupaten tidak pernah dilibatkan dalam perumusan hasil SKPD. Akibatnya, masyarakat sipil tidak bias mengawal usulan masyarakat bawah secara maksimal. Bahkan dia mencurigai dinas-dinas telah menyiapkan tim perumus bayangan yang sudah ada klik dengan dinas. Selain Anwar juga kesal dengan sikap pemerintah yang tidak transparan berkaitan dengan pagu indikatif dan dana-dana dari pusat untuk daerah. Tentunya ini merusak perencanaan di tingkatan bawah, ini digelapkan atau memang gelap, tegasnya.
Dalam pertemuan tersebut disepakati beberapa tindak lanjut yaitu GAMPIL (Gabungan Masyarakat Sipil) akan membuat naskan akademik tentang kritik proses perencanaan yang dilakukan pemerintah Kebumen dan disertaio rekomendasi-rekomendasi pada pemerintah untuki memperbaiki sistem perencanaan dan perencanaannya di kemudian hari. Gampil juga berencana untuk bertemu Bupati, Bappeda dan dinas-dinas terkait untuk mengecek dan mengawal usulan bawah yang terjaring di musrenbangkab agar tidak menguap. Rencananya agenda tersebut akan dilaksanakan bulan Mei ini. Rencana tindak lanjut ini teruingkap pada sesi diskusi yang dipandu Anang Sabtoni dari IRE.
Sebagai penutup acara Rahmanadi berkenan memimpin penutuopan dengan membaca doa. Dia berharap Gampil akan terus tegar dan konsisten memberdayakan masyarakat peduli dengan anggaran daerah yang notabenenya adalah uang rakyat juga (born).
Tuesday, April 17, 2007
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PRO POOR APA PRO YEK
Dalam dokumen KUAPBD 2007 terdapat alokasi anggaran yang berbunyi Penataan lingkungan alun-alun kota Kebumen. Program pemerintah dengan kode rekening 1.08.1.03.01.24 ini menelan anggaran yang cukup fantastis yaitu Rp. 2 milyar.
Secara simbolik bolehlah kita berprasangka baik bahwa pemerintah punya itikad baik untuk mempercantik dan memperindah jantung kota Beriman. Pemerintah juga tidak salah kalau berargumen bahwa kebijakan program tersebut telah mendapat persetujuan DPRD sebagai representasi rakyat. Sehingga secara demokrasi prosedural, lolosnya program penataan alun-alun telah memenuhi syarat untuk dikatakan demokratis.
Sebagai kelompok masyarakat kecil Gampil menaruh rasa heran mengapa ditengah-tengah himpitan batu kemiskinan yang melanda masyarakat Kebumen, pemerintah masih mengalokasikan dana besar pada pos yang kurang berdampak positif terhadap peningkatan derajat mentalitas dan kesejahtaraan rakyat miskin. Menurut catatan pemerintah tahun 2003, Kebumen masih mengantongi angka kemiskinan sebanyak 359.102 jiwa dari total jumlah penduduk Kebumen 1.193.978. Artinya masih sekitar 30,08 % warga Kebumen masih berjibaku dengan deraan kemiskinan.
Penataan Alun-alun kota Kebumen merupakan salah satu bentuk pengelabuan pemerintah pada suatu kenyataan bahwa kemiskinan bukan prioritas pembangunan. Program tersebut juga merupakan indikator bahwa pemerintah masih menempatkan pembangunan fisik sebagai paradigma pembangunan. Sebagai pembangunan yang bersifat fisik tentu saja berada dibawah koordinasi dinas Kimprasda.
Meneliti keberpihakan pada masyarakat miskin dan sensitif gender dari pembangunan yang dimotori dinas ini memang sulit. Namun kita patut mengajukan pertanyaan, Siapa pemberi amanat sejati pembangunan yang dibahasakan dalam bentuk APBD? Bagaimana sistem pengelolaan dana APBD yang diperuntukkan pembangunan fisik entah berupa pengerasan, pengaspalan jalan, pembangunan irigasi dan pembangunan (pemugaran) rumah rakyat miskin? Siapa kelompok yang lebih banyak mengambil keuntungan dari program-program berupa fisik tersebut?
Belajar dari hasil-hasil pembangunan jalan, saluran irigasi banyak yang rusak dalam waktu yang relatif singkat, sebenarnya bisa diterjemahkan sebagai berikut. Pertama, ketidaseriusan pihak ketiga dalam merealisasikan proses pembangunan. Padahal sebagai pihak yang mendapat kepercayaan dari pemerintah pihak ketiga harus bertanggung jawab. Utamanya pada soal kualitas bangunan harus mengutamakan pada aspek ketahanan bangunan, keselamatan dan manfaatnya bagi manusia sebagai pengguna bangunan. Yang tidak kalah penting yaitu aspek pengelolaan dana pembangunan yang proporsional dan bebas dari perilaku korupsi. Kedua, Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan sangat minim. Selama ini masyarakat memang banyak yang mengusulkan proyek pembangunan berdasar kebutuhan desanya. Usulan-ususlan tersebut mereka sampaikan melalui kanal perencanaan yang sah. Namun usulan tersebut malah banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Ketiga, Proyek swakelola yang sebenarnya merupakan salah satu jawaban dari aspek kedua, malah kian menjauhkan jawaban tersebut. Masyarakat tetap menjadi lemen yang dirugikan dalam relasi segi tiga antara pemerintah, swasta (pihak ketiga) dan masyarakat. Banyak masyarakat mengeluh karena banyak sumber daya desa yang tercurahkan sebagai pendamping program, malah tereksploitasi.
Dalam konteks yang seperti ini sebaiknya pemerintah segera merapikan beberapa hal. Pertama, usulan dari masyarakat yang berkaitan dengan program-program pembangunan infrastruktu jangan dijadikan alat legitimasi pemerintah untuk menjadikannya sebagai lahan basah yang memberi peluang untuk korupsi. Kedua, rakyat jangan dijadikan media pengusul program saja. Selama ini paradigma masyarakat yang masih men mengutamakan fisik sebagai prioritas pembangunan lagi-lagi dijadikan pendulang emas bagi pihak-pihak ketiga. Karena pihak ketigalah yang memiliki banyak peluang memanfaatkan bersarnya anggaran pembangunannya. Itupun kalau pemerintah bisa menahan diri untuk tidak terlibat dalam relasi suatu pembangunannya. Ketiga, Pemerintah harus mengelola mekanisme pelelangan secara adil dan terbuka. Masyarakat harus diberi ruang dalam mekanisme. Proses lelang proyek yang tidak adil dan terbuka membuka peluang adanya monopoli oleh sekelompok orang. Kelima, sebagai hak publik proses pembangunan suatu proyek infrastruktur harus disertai manejemen terbuka. Artinya karena sebenarnya proses pembangunan suatu proyek fisik menggunakan uang rakyat sebagaimana di APBD maka harus ada pertanggungjawaban secara publik.
Kelompok masyarakat sipil yang terlibat dalam skema implementasi suatu proyek pembangunan seharusnya jangan menjadi entitas yang turut memperpanjang mekanisme pelaksanaan proram terkait. Sebaliknya posisi sebagai masyarakat sipil memberikan dorongan kritis agar pelaksanaan program bersangkutan terlaksana sesuai dengan harapan ideal baik secara teknis maupun manfaatnya untuk masyarakat.
Dalam draft RAPBD 2007 nampak pendapatan dari dinas permukiman dan prasarana daerah memberi kontribusi sebesar Rp. 446.500.000,-. Sebuah pemasukan yang ironis ketika kita pertemukan dengan anggaran belanjanya yang mencapai Rp. 104.578.524.000,-. Dari plot anggaran yang besar dan pendapatan yang rendah serta prioritas program pada dinas tersebut, menunjukan kecenderungan sebagai berikut. Pertama, Pemerintah tidak membangun sistem atau konsep ideal tentang rencana pembangunan yang berdampak positif pada PAD tanpa membebani rakyat. Misalnya bagaimana pembangunan fisik berdampak pada kenaikan ekonomi masyarakat. Kedua, Paradigma pihak pemegang otoritas kebijakan masih besar pasak dari pada tiang atau munimal tangan dibawah lebih baik dari tangan diatas. Ketiga, persebaran proyek belum menyentuh daerah-daerah terisolir. Padahal membuka daerah terisolir sebagai pusat pertumbuhan juga sangat penting.
Yang terakhir, saat prioritas pembangunan infrastruktur sebagai prioritas ketiga dalam tahapan pembangunan di kabupaten Kebumen telah tercapai, apa langkah selanjutnya?
Profile
Visi gampil, "melalui anggaran yang berkeadilan, kesejahteraan untuk semua". Sedangkan misinya adalah mendorong partisipasi masyarakat sipil baik LSM atau komunitas warga untuk terlibat aktif dalam siklus anggaran, demi mendorong anggaran yang pro-kemiskinan dan kesejahteraan.
Program yang akan dilakukan gampil: (1) Penguatan kelompok masyarakat sipil peduli anggaran dengan pelatihan; (2) penguatan stakeholders peduli anggaran dengan workshop dan pelatihan; (3) pendampingan;(4) memperkuat jejaring antar komunitas; (5) mendirikan pusat olah data dan puast studi; dan (6) advokasi anggaran di seluruh fase pada siklus penganggaran pembangunan.
jumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung didalamnya sebagai berikut; Indipt Online, Komunitas Perempuan Indipt, Koalisi Perempuan Indonesia, LSM Tanah Air, LSM Pandawa, For B, PC PMII, PC IPPNU, PC IPNU, Lembaga Karya Desa, KUB Pandan Sari, Sekolah Rakyat Melu Bae, Dewan tani, Persada, Forum Agrobisnis Kebumen Bangkit, PPB, Pemuda Tani Kebumen, FP2K, KSU FOKSIKA, Lakpesdam NU, dan BKM P2KP.